KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah memastikan impor minyak mentah (
crude oil) dari Amerika Serikat (AS) bakal mulai meningkat pada Desember 2025. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut langkah ini menjadi bagian dari strategi negosiasi tarif resiprokal antara Indonesia dan AS. Selama ini, Indonesia lebih banyak mengimpor liquefied petroleum gas (LPG) dari AS. Namun mulai akhir tahun depan, pemerintah berencana memperluas pembelian komoditas energi.
“Kalau LPG kan sudah berjalan, kemudian minyak kemungkinan besar di Desember ini sudah bisa ada yang start dari sana,” kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Meski begitu, Bahlil belum memerinci skema pengadaan minyak mentah tersebut, termasuk soal pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut pengadaan bisa dilakukan tanpa lelang. “Nanti kita lihat skemanya. Coba tanya ke Pak Airlangga kalau begitu,” ujarnya.
Baca Juga: Pertamina Temukan Cadangan Migas Jumbo 724 Juta Barel di Blok Rokan Pertamina sesungguhnya telah membuka jalur kerja sama dengan perusahaan energi Negeri Paman Sam. Melalui PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Pertamina meneken tiga nota kesepahaman pengadaan feedstock dan kilang secara
business to business (B2B) dengan ExxonMobil Corp., KDT Global Resource LLC., dan Chevron Corp. Sebagai gambaran, AS kini menetapkan tarif 19% bagi Indonesia, turun dari 32% sebelum kedua negara kembali membuka perundingan perdagangan. Salah satu kesepakatan kerja sama mencakup impor LPG dan bensin senilai US$15 miliar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total impor migas Indonesia sepanjang 2024 mencapai US$36,27 miliar, terdiri dari US$10 miliar impor minyak mentah dan US$25,92 miliar impor hasil minyak. Untuk LPG, volume impor mencapai 6,89 juta ton senilai US$3,78 miliar, dengan AS sebagai pemasok terbesar sebesar 3,94 juta ton. Kontribusi impor minyak mentah dari AS sendiri masih kecil, yakni sekitar US$430,9 juta pada 2024. Mayoritas pasokan crude Indonesia masih berasal dari Arab Saudi, Angola, Nigeria, hingga Australia. Pertamina Siapkan Kilang Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri mengatakan pembahasan teknis impor migas AS masih menunggu regulasi pemerintah. “Soal impor migas AS, pembahasannya masih menunggu peraturan,” kata Simon ditemui di Kompleks DPR RI, Rabu (19/11/2025).
Baca Juga: Indonesia Akan Mengerek Impor Migas dari AS Bulan Depan, Pertamina: Kita Harus Siap Meski demikian, Simon memastikan Pertamina telah menyiapkan langkah antisipatif agar kilang dan rantai pasok siap menerima pasokan baru tersebut. “Ya, kita harus siap,” ujarnya saat ditanya soal kesiapan kilang domestik. Dia menambahkan, skenario impor migas dari AS masih terus dikaji. “Yang penting kita siapkan semua kemungkinan,” tambahnya. Secara terpisah, Pjs. Corporate Secretary PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Milla Suciyani mengatakan crude asal AS kemungkinan besar akan dialokasikan ke Kilang Balikpapan. Kilang ini dinilai paling siap karena telah dilengkapi Single Point Mooring (SPM), sehingga kapal Very Large Crude Carrier (VLCC) dapat langsung bongkar muatan tanpa proses pemindahan ke kapal lebih kecil (lightering). “Saat ini sudah bisa dikirim menggunakan VLCC, jadi lebih efisien biayanya,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (19/11/2025). Sebagai informasi, Kilang Balikpapan menjadi proyek pengembangan kilang terbesar Pertamina saat ini. Proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Balikpapan bernilai US$7,4 miliar akan meningkatkan kapasitas pengolahan dari 260.000 barel per hari menjadi 360.000 barel per hari. Praktisi migas sekaligus Direktur Utama Petrogas Jatim Utama Cendana menilai impor crude dari AS secara teknis tidak menjadi masalah bagi kilang Pertamina.
Baca Juga: Bahlil: Indonesia Tingkatkan Impor Minyak dari AS Mulai Desember 2025 “Masih dalam range karakteristik crude minyak Pertamina. KPI punya blending facilities untuk itu, sehingga masuk dalam karakterisasi kilang,” ujarnya kepada Kontan, Rabu (19/11/2025). Dia menyebut selama ini Pertamina banyak melakukan blending berbagai jenis minyak mentah. Karena itu, perbedaan spesifikasi crude AS tidak menjadi kendala teknis berarti. Namun ia mengingatkan, impor crude dari AS tetap membawa konsekuensi pada biaya logistik. “Tentu akan ada tambahan biaya transportasi dan logistic cost. Namun pemerintah tentu sudah menghitung benefit-nya terhadap perekonomian nasional,” ungkapnya.
Menurut dia, pemerintah perlu terus mencari inovasi dalam pemasaran produk ke negara-negara non-AS untuk menyeimbangkan portofolio perdagangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News