Jakarta. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut sejak tahun 2012 Indonesia mengalami darurat kekerasan seksual. Per tahun 2014 saja ada sebanyak 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dengan jumlah kekerasan terhadap perempuan yang terus bertambah, Indonesia butuh payung hukum yang lebih spesifik. Sebab, selama ini KUHP, UU anti-
traficking hingga UU tentang KDRT yang menjadi payung hukum belum mengakomodir jenis kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. “Di dalam payung hukum tersebut, hanya ada tiga jenis perlakuan yang bisa diindentifikasi sebagai kekerasan. Padahal sebenarnya ada 15 jenis kekerasan yang bisa terjadi dan itu tidak masuk,” kata Sri Nurherwati, Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan.
Alhasil, banyak kasus kekerasan terhadap perempuan yang gugur saat menempuh jalur hukum. Hanya sekitar 10% yang berhasil masuk hingga tahap persidangan. Padahal, kekerasan seksual merupakan salah jenis
extraordinary crime karena berdampak seumur hidup bagi para korbannya. Sayangnya, pemerintah seperti mengambil langkah singkat yang terkesan terburu-buru dengan rencana penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk merivisi UU tentang Perlindungan Anak. Dalam Perppu tersebut pelaku akan menerima hukuman kurungan 20 tahun dan hukuman tambahan berupa kebiri. Padahal, darurat kekerasan seksual ini butuh payung hukum yang lebih komprensif dan bersifat edukatif untuk mengubah cara berpikir para pelaku. Dengan demikian hukuman yang bersebrangan dengan hak asasi manusia seperti kebiri dan hukuman mati tidak akan menyelesaikan masalah kekerasan seksual sampai ke akarnya. Komnas Perempuan mengajukan payung hukum dalam bentuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini bersifat melindungi korban dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku tanpa mengesampingkan hak asasi manusia para pelakunya. Dengan prinsip penghukuman yang mendidik, menjerakan, manusiawi dan tidak merendahkan martabat dan memenuhi rasa keadilan korban. Dalam RUU tersebut, Nurherwati bilang, hukuman dalam bentuk pidana ini beragam dan memiliki gradasi dari setiap bentuk kekerasan seksual. Meliputi, pemasyarakatan yang lebih berat dari KUHP, rehabilitasi pelaku, khususnya untuk pelaku anak dan restitusi atau ganti kerugian terhadap korban yang dibebankan kepada pelaku. Jika pelaku tidak mampu, maka restitusi tersebut dibebankan kepada negara. Selain itu, ada pidana tambahan meliputi pemulihan nama baik, sanksi administratif dan denda jika melibatkan pemerintah atau lembaga/ perusahaan. Ada juga pemberatan jika dilakukan oleh orang tua, para tokoh masyarakat, pejabat negara dan aparat hukum, dan jika dilakukan terharap anak, perempuan hamil dan penyandang disabilitas serta dilakukan secara kelompok.
Nurherwati bilang, lewat RUU tersebut Komnas Perempuan juga mengklasifikasikan ke-15 jenis kekerasan dalam delapan bentuk, meliputi pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan prostitusi, penyiksaan seksual, dan perbudakan seksual. Sehingga semua jenis atau bentuk kekerasan seksual bisa diidentifikasi oleh aparat penegak hukum. “Karena mereka bekerja sesuai kerangka hukum dan mengacu ke sana, kalau undang-undangnya tidak detail mengindentifikasikan akan sulit menjerat pelaku,” kata Nurherwati. Tahun ini, RUU tersebut masih menunggu antrian untuk masuk sebagai pembahasan prioritas DPR. Dengan kebutuhan payung hukum kekerasan seksual yang semakin mendesak, Komnas Perempuan meminta agar Anggota DPR RI menjadikan RUU ini sebagai prolegnas prioritas 2016. “Selain itu, Komnas Perempuan juga meminta presiden Joko Widodo agar membuat surat untuk mendukung dan mendorong percepatan pembahasan RUU tersebut sebagai prioritas,” kata Nurherwati. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto