RI dituduh menyadap diplomat & pengusaha Australia



JAKARTA. Berita aksi intelijen yang telah membuat renggang hubungan Indonesia dan Australia agaknya masih berlanjut. Jika sebelumnya, Australia diberitakan telah menyadap petinggi Indonesia, kali ini ada cerita sebaliknya.

Indonesia melalui Badan Intelijen Strategis (BAIS) Indonesia telah dituduh menggunakan peralatan pengintai canggih milik China, untuk mengintai diplomat Australia, pelaku bisnis dan serta juga warga Australia di Indonesia.

News.com.au memberitakan, Indonesia dan China disebutkan telah bekerjasama untuk melancarkan aksi spionase terhadap Australia. Pernyataan tersebut disampaikan oleh sumber yang tak menyebutkan nama.


Dalam pemberitaan itu dijelaskan, peralatan yang digunakan untuk menyadap adalah peralatan teknologi terbaru milik China. Peralatan itu diduga berasal dari desain barat yang kemudian di curi oleh China melalui Departemen 3, Tentara Pembebasan Rakyat China kepada BAIS.

Peralatan yang diduga diserahkan ke BAIS itu berfungsi menyadap dan mengambil informasi dan mendistribusikannya ke militer China. Menurut pemberitaan itu, target penyadapan yang diintai adalah, diplomat Australia, pengusaha dan juga warga negara Australia.

Menurut jurnal Intelligence Online,, kesepakatan intelijen Indonesia dan China dimulai setelah kepala angkatan udara China, Jenderal Ma Xiaotian datang ke Jakarta Maret 2011 silam. Sebagaimana diketahui, Jenderal Ma sebelumnya pernah menjabat sebagai wakil kepala staf yang bertanggung jawab untuk Departemen 3.

Sebuah sumber intelijen mengatakan kepada News Corp, bahwa hubungan Indonesia-China sangat dekat. Bahkan China disebutkan tertarik menggunakan hubungan itu guna melancarkan aksi memata-matai Australia dan negara-negara Barat lainnya. "Ada upaya terkoordinasi dari China dan Indonesia untuk mencari informasi dari kami," kata sumber itu .

Sumber itu juga bilang, China tertarik pada birokrasi Australia, gosip bisnis, kontrak sumber daya dan kegiatan militer Australia. “Daftar ketertarikan China itu ada daftarnya," jelas sumber itu.

Berbeda dengan Australia dan Amerika Serikat, intelijen China disebutkan telah menggunakan cara intelijen yang digunakan KGB Uni Soviet. Mereka menggunakan metode saturasi untuk mengumpulkan informasi dari target.

Selain itu, Jane's Defence Weekly salah satu jurnal pertahanan menyebutkan, China telah menawarkan pembangunan jaringan radar di pantai Indonesia. Diperkirakan, China ingin menaruh radar tersebut di Lombok, Selat Sunda, Kalimantan Barat dan Sulawesi.

Kerjasama intelijen China dan Indonesia diperkirakan terjadi setelah adanya kunjungan kenegaraan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke China beberapa waktu lalu. Selain itu, kunjungan itu berbalas dengan kedatangan Presiden China Xi Jinping ke Indonesia pada bulan Oktober.

Sampai pemberitaan ini, belum diketahui sikap dari petinggi BAIS ataupun dari petinggi militer Indonesia.

Indonesia punya sejarah dengan China

Willy Aditya, pengamat pertahanan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menilai, Indonesia pernah memiliki kerjasama dengan militer dengan China di zaman pemerintahan Soekarno. “Jika militer Indonesia kembali bekerjasama lagi dengan militer China itu sah-sah saja,” kata Willy.

Bahkan, kerjasama di bidang intelijen sah dilakukan Indonesia asalkan untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia. Apalagi kata Willy, Indonesia saat ini masih tertinggal dalam hal peralatan teknologi intelijen.

“Artinya kerjasama penggunaan peralatan intelijen dari China sangat realistis dilakukan oleh militer Indonesia,” kata Willy. Dalam penjelasannya, Indonesia saat ini sedang mengejar ketertinggalan di bidang teknologi intelijen yang sudah duluan dikembangkan China.

Willy bilang, seandainya penyadapan Australia itu benar dilakukan militer Indonesia, maka hal itu menjadi hal yang biasa saja, sebab dilakukan di teritorial Indonesia dengan tujuan mempertahankan kepentingan nasiolnal. “Itu penyadapan yang tidak brutal, karena tidak dilakukan di negara lain seperti yang dilakukan Australia,” tegas Willy.

Saat ini, kata Willy, dana militer Indonesia masih minim, sehingga sarana pertahanan juga masih lemah termasuk sarana intelijen. “Membangun pertahanan itu mahal, maka untuk menutupinya bisa dilakukan dengan kerjasama bilateral dengan China. Sebab kalau kerjasama dengan Amerika Serikat (AS) sulit dilakukan, karena kepentingannya adalah berdagang,” kata Willy. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri