KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi korporasi berupa penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) alias
rights issue masih ramai. Hingga 1 Agustus 2022, Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada 45 perusahaan yang berada di
pipeline rights issue. Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia membeberkan, total dana yang diperkirakan akan diperoleh lewat
rights issue mencapai Rp 36,9 triliun. Dari 45 emiten yang ada di
pipeline rights issue, terbanyak berasal dari sektor keuangan dengan jumlah 17 emiten. Kemudian enam emiten datang dari sektor barang baku, lima emiten sektor barang konsumsi nonprimer, tiga emiten masing-masing di sektor energi, transportasi & logistik, serta infrastruktur.
Baca Juga: IHSG Naik ke 7.057 Pada Kamis (4/8) Diiringi Net Buy Asing Rp 1,12 Triliun Selanjutnya, dua emiten masing-masing datang dari sektor barang konsumsi primer, perindustrian serta sektor properti & real estat. Lalu sektor teknologi dan sektor kesehatan masing-masing menyumbang satu emiten. "Jumlah perusahaan tercatat yang berada pada
pipeline rights issue mencerminkan adanya kepercayaan untuk memanfaatkan pasar modal Indonesia sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan," kata Nyoman. Certified Elliott Wave Analyst Master Kanaka Hita Solvera, Daniel Agustinus melihat di tengah kondisi makroekonomi dan wacana kenaikan suku bunga,
rights issue menjadi alternatif pendanaan yang murah. "Emiten bisa mendapatkan dana segar yang dapat digunakan untuk ekspansi maupun pembayaran hutang," kata Daniel saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (4/8).
Baca Juga: Malacca Trust Insurance (MTWI) akan Rights Issue 1,4 Miliar Saham Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto juga memandang tahun ini masih menjadi momentum tepat bagi para emiten mencari tambahan modal lewat penerbitan saham baru. Namun di sisi lain, perkembangan makroekonomi belakangan ini perlu diantisipasi. Kondisi itu mendorong emiten mencari dana segar tanpa membebani perusahaan. "Tentu akan lebih aman bagi para emiten memilih peningkatan modal dari ekuitas, bukan mengambil utang baru karena ada risiko dari peningkatan beban yang dapat mengganggu
cash flow perusahaan," kata Pandhu. Hal senada disampaikan oleh CEO Edvisor.id Praska Putrantyo. Menurut Praska,
rights issue ramai dilakukan karena para emiten ingin memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi untuk menggelar ekspansi bisnis. "Terlebih di tengah prospek suku bunga pasar uang yang berpeluang naik, pendanaan dari ekuitas lewat
rights issue menjadi alternatif menarik," kata Praska.
Baca Juga: HK Metals (HKMU) Rampungkan Restrukturisasi Utang dengan Bank KEB Hana Sementara itu, Vice President Infovesta Utama Wawan Hendrayana menyoroti ramainya emiten perbankan yang menggelar
rights issue. Wawan bilang, wajar jika emiten perbankan membutuhkan penambahan modal. Di samping untuk memenuhi ketentuan modal inti minimal, momentum pemulihan ekonomi juga perlu sokongan penyaluran dana yang kuat. "Untuk bisa memperbaiki layanan dan menyalurkan kredit dengan baik, pasti butuh modal. Jadi wajar kalau bank banyak
rights issue," ujar Wawan. Selain perbankan, sektor lain yang menarik dilirik saat melakukan
rights issue adalah sektor energi. Dana yang terhimpun akan tepat untuk dipakai ekspansi atau meningkatkan produksi di tengah momentum
booming komoditas. Meski begitu, Wawan punya catatan. Dalam memilih saham emiten yang menggelar
rights issue, pelaku pasar perlu mencermati tiga hal dasar.
Pertama, kondisi fundamental perusahaan
. Kedua, prospek bisnis dan tujuan penggunaan dana.
Baca Juga: Perkuat Modal, Jurus Bank Tangkal Krisis Biasanya, penggunaan dana untuk ekspansi akan jauh lebih diminati ketimbang dipakai buat pembayaran utang. Dalam hal ini, perlu diperhatikan ekspansi yang akan dilakukan emiten apakah bersifat organik atau anorganik. Sebab, mesti dipahami bahwa
rights issue tidak secara otomatis bisa memberikan tambahan profit bagi emiten, walau asetnya akan bertambah. "Kalau ekspansi membangun sesuatu, tentu perlu waktu. Kalau melalui akuisisi, bisa lebih cepat (berdampak ke kinerja emiten)," ujar Wawan.
Ketiga, faktor lain yang perlu dicermati adalah keberadaan
standby buyer. Rekam jejak bisnis dan kapasitas modal dari
standby buyer akan melengkapi kesuksesan
rights issue. Menurut Wawan, ketiga faktor itu akan mempengaruhi pergerakan harga sahamnya.
Baca Juga: Ada 45 Emiten di Pipeline Rights Issue BEI, Estimasi Dana Terhimpun Capai Rp 36,9 T Pandhu juga punya catatan serupa. Dia merangkum, kondisi fundamental emiten, prospek usaha, model bisnis, serta struktur permodalan dan valuasinya mesti dicermati. "Jika hanya untuk memperpanjang nafas pada kondisi yang terhimpit utang besar, tentu jadi kurang menarik," kata Pandhu. Dari sisi valuasi, biasanya harga tebus
right issue akan dilakukan pada harga yang cukup rendah supaya menarik bagi investor. Jika harga saham saat ini terlalu tinggi, ada potensi tertekan oleh pelaksanaan
rights issue. "Ada kecenderungan investor akan merealisasikan keuntungan dari saham kemudian menebus
rights di harga bawah," imbuh Pandhu. Untuk saham-saham dengan prospek fundamental yang solid, Praska melihat rights issue menjadi peluang yang bisa dimanfaatkan investor untuk mengakumulasi saat harga di level yang lebih rendah. "Investor bisa mencermati untuk masuk di pasar sekunder jika ingin melakukan akumulasi. Harga saham biasanya cenderung terkoreksi dalam jangka pendek jelang pelaksanaan
rights issue," ujar Praska.
Baca Juga: Perbankan Siap Rights Issue Pada Semester II 2022 Praska pun menyarankan agar pelaku pasar mencermati sejumlah saham BUMN yang melakukan
rights issue, seperti PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (
SMGR), dan PT Adhi Karya (Persero) Tbk (
ADHI). Kemudian dua bank pelat merah, yakni PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (
BBTN) dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk (
BRIS). Daniel juga menjagokan BBTN dan SMGR. Target harga yang diproyeksikan untuk BBTN berada di area Rp 1.750 dan Rp 8.000 menjadi target harga SMGR hingga akhir tahun nanti. Pandhu juga melihat BBTN punya prospek menarik. Tambahan modal dari
rights issue akan banyak membantu BBTN terutama meningkatkan
capital adequacy ratio (CAR), juga untuk mendongkrak kapasitas penyaluran kredit. Secara kinerja, Pandhu melihat BBTN cukup solid, dan diperdagangkan pada valuasi yang relatif murah. Pandhu pun memberikan target harga Rp 1.800 terhadap BBTN untuk 12 bulan ke depan.
Baca Juga: Weha Transportasi (WEHA) Membidik Dana Rights Issue Rp 75 Miliar Selain BBTN, pelaku pasar bisa melirik BRIS. Hanya saja, Pandhu mengingatkan bahwa secara valuasi BRIS sedikit lebih mahal dan masih ada
gap dibandingkan bank BUMN
big caps yang lain.
Sedangkan bagi sejumlah bank swasta yang akan menggelar
rights issue, Pandhu memandang aksi ini lebih untuk memenuhi peraturan modal inti minimum. "Secara kinerja belum terlihat benar-benar memiliki prospek yang kuat untuk bersaing dengan bank
big caps," tandas Pandhu. Sementara itu, Technical Analyst Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova merekomendasikan BBTN, BRIS, dan PT Bank Victoria International Tbk (
BVIC). "Ketiganya memiliki tren pertumbuhan kinerja semester pertama secara yoy di tiga tahun terakhir," sebut Ivan. Target harga yang bisa dipertimbangkan untuk BBTN ada di level Rp 1.600. Lalu, Rp 2.000 untuk target BRIS, dan target harga BVIC ada di area Rp 170. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati