Riset Value Penguin: Indonesia urutan 9 negara paling menyenangkan di bisnis start up



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Indonesia digadang-gadang menjadi salah satu pasar utama ekonomi digital di Asia Tenggara. Mengingat jumlah penduduk dan penetrasi pengguna internet yang terbanyak di antara negara Asia Tenggara lainnya. Tak heran bila berbondong-bondong investor global dan lokal mencoba peruntungan di pasar domestik dengan menyuntik modal di usaha rintisan atau start up.

Tapi siapa sangka saat perusahaan konsultan keuangan dan investasi asal Amerika Serikat Value Penguin baru-baru ini melansir hasil riset soal negara yang paling prospektif di bisnis start up di kawasan Asia Pasifik. Hasilnya justru bertolak belakang.

Dalam hasil riset tersebut, Value Penguin ternyata menempatkan Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak bersahabat bagi para pebisnis atau investor bila mau menyuntikkan modal atau berbisnis usaha rintisan di dalam negeri. Posisi Indonesia hanya berada di peringkat sembilan dari 12 negara. Urutan pertama Singapura dan di atasnya ada Malaysia (5). Tapi posisi  Indonesia lebih baik dari tiga negara Asia Tenggara yang lainnya seperti Thailand (10), Filipina (11) atau Vietnam (12).


Ketua Asosiasi Modal Ventura dan Start up Indonesia (Amvesindo) Jefri R. Sirait,  menilai hasil tersebut adalah hal yang wajar, bila item kemudahan berbisnis dan iklim usaha serta kualitas tenaga kerja juga menjadi faktor penentu investor berbisnis di start up. Kalau melihat item tersebut, tentu negara Singapura menjadi pilihan utama.  "Ini terkait return dan kemudahan yang didapat investor," katanya kepada KONTAN, Senin (19/3).

Apalagi negeri Merlion tersebut sudah melakukan pembenahan ekonomi. Seperti menjadi pintu masuk investasi di kawasan Asia Tenggara dengan kemudahan perpajakan bagi usaha rintisan. Belum lagi para modal ventura mendapat pajak yang ringan di sana.

Selain Singapura, negara India ia nilai juga sedang mengarah ke arah sana. Sejak 2016, pemerintah India membuat kebijakan mempermudah pengembangan bisnis start up dan bagi para modal ventura. Kalau sudah begini, tentu para investor start up kepincut ke sana.

Ini jelas menjadi tantangan bagi Indonesia. Apalagi disini sudah ada start up yang menjelma menjadi unicorn seperti Go-Jek yang kian ekspansif belakangan ini. Melihat pengalaman Go-Jek, kata Jefri, sebetulnya para pebisnis start up dan modal ventura yang ingin berbisnis di Indonesia harus melihat pasar yang unik yang ada di sini.  Sebab, bisnis semacam Go-Jek tidak bisa berkembang di tempat dan negara lain, seperti Eropa atau juga Korea Selatan.

Makanya ia optimistis, jumlah pelaku start up di Indonesia makin bertambah banyak.  Sudah begitu para konglomerat mulai berani terjun ke bisnis tersebut.

Untuk itu, William Eka, Associate Director at Skystar Venture berharap segala kendala di bisnis start up bisa diminialisir. Semisal soal proses perizinan di bisnis bidang teknologi digital seperti start up dan sejenisnya yang masih ada hambatan.

Untungnya, pemerintah cepat tanggap dengan membuat proses perizinan usaha menjadi singkat lewat implementasi satu pintu di Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM). "Ini menjadi lebih mudah," katanya kepada KONTAN.

Kalaupun kendala adalah kurangnya tenaga pengembangan (developer) aplikasi start up serta ilmuwan. Perlu ada insentif supaya tenaga ahli ini betah di Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon