KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Yield SUN acuan 10 tahun masih dalam tren naik, di tengah melandainya
yield Treasury acuan tenor 10 tahun. Masih adanya risiko dari dalam negeri dinilai menahan penurunan
yield. Berdasarkan data Trading Economics,
yield Treasury 10 tahun berada di level 4,3%. Dalam sepekan terakhir bergerak turun 0,14% dan sebulan terakhir turun 0,17%. Sementara
yield SUN dalam sepekan naik 0,04% dan sebulan terakhir naik 0,17% ke 7,15%. Kepala Divisi Riset Ekonomi Pefindo Suhindarto mengatakan, dari dalam negeri karena pasar masih menanti postur anggaran 2025 diputuskan. Ini mengingat ada beberapa isu dari sisi program pemerintah terpilih.
"Meski sudah ditepis pemerintah dan memberi rasa tenang ke pasar, tetapi kami lihat sejauh ini market masih cenderung menunggu kepastian," ujarnya dalam Media Forum, Selasa (9/7).
Baca Juga: Pemerintah Tawarkan 7 Seri SUN dalam Gelaran Lelang SUN Hari Ini (9/7) Darto menyebutkan bahwa ada dua hal yang dicermati, yakni postur anggaran 2025 dan beberapa tahun ke depan dan sususan kabinet, khususnya pada pos-pos kunci. Hal itulah, kata Darto, yang membuat premi risiko di Indonesia belum turun mengikuti
yield Treasury dan menjadi pemberat yield SUN. Di sisi lain, terdapat anggapan bahwa SUN di
secondary dan
primary market dianggap investasi paling stabil. Bahkan, imbal hasilnya bisa dikendalikan sehingga geraknya tidak terlalu mengekor pergerakan Treasury. Darto menanggapi bahwa SUN memang dianggap investasi paling stabil, sebab merupakan instrumen investasi pendapatan tetap dan sifatnya
risk-free dibandingkan dengan instrumen lain. Instrumen lain itu seperti obligasi korporasi dan saham. Umumnya, obligasi pemerintah juga dianggap sebagai
risk free sehingga dijadikan
benchmark untuk
pricing obligasi korporasi maupun valuasi saham. "Stabilitas juga ditopang oleh porsi asing yang sudah relatif kecil, tapi stabilitas tersebut tidak berarti
yield-nya bisa dikendalikan," kata dia.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Rp 36 triliun Pada Lelang Surat Utang Negara, Selasa (9/7) Dia menyebutkan pergerakan harga SUN tergantung pada mekanisme pasar untuk bekerja. Mekanisme pembentukan harganya tetap melalui
supply-
demand. "Selain itu,
pricing juga menentukan karena dari
demand side dan
supply side punya
pricing masing-masing dan
clearing-nya di pasar (
equilibrium-nya)," sambungnya.
Dijelaskan, untuk
pricing ini bervariasi. Dari investor asing, selain
sovereign risk, premi terhadap Amerika Serikat (AS) juga menjadi pertimbangan. Selain itu, ada
translation risk juga yang menjadi pertimbangan. Sementara inflasi domestik mungkin tidak terlalu berpengaruh besar karena investor asing tidak membelanjakan uangnya di dalam negeri. Namun kalau domestik,
pricing yang dominan dipengaruhi oleh BI rate, yang mana pada akhirnya dipengaruhi juga oleh tingkat inflasi domestik. Darto meyakini arah
yield SUN akan berangsur-angsur melandai seiring adanya kepastian postur anggaran pemerintah terpilih dan susunan kabinetnya. Ia memperkirakan
yield SUN akan berada di 6,8% pada akhir tahun 2024. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati