JAKARTA. Premi risiko investasi di Indonesia naik. Ini tercermin credit default swap (CDS) yang naik. Pekan lalu, CDS Indonesia tenor 10 tahun mencapai angka tertinggi sejak Juni 2012 di level 312,02. Untunglah, Selasa (18/6), CDS Indonesia mulai turun ke 263,09. Toh, tetap saja paling tinggi dibandingkan premi risiko negara-negara ASEAN. Secara singkat, CDS tak ubahnya asuransi kredit. Instrumen derivatif ini menjadi salah satu indikator persepsi tentang risiko investasi di pasar keuangan suatu negara. Makin tinggi angka CDS, makin tinggi pula risikonya.
Ekonom Samuel Sekuritas, Lana Soelistianingsih mengatakan, kenaikan CDS sebetulnya juga terjadi di
emerging market lain yang setara Indonesia, seperti Turki dan Filipina. Tapi, kenaikan tertinggi terjadi di Indonesia. "CDS Indonesia sempat naik ke 360 basis poin pada minggu lalu, tapi ditutup di 260, Jumat (14/6)," kata Lana, kemarin. Kenaikan CDS itu, menurut Lana, disebabkan faktor global karena adanya risiko akibat rencana Bank Sentral AS yang mengurangi stimulus. Akibatnya, investor cenderung memegang dana tunai. Nah,
emerging market paling sengsara atas rencana itu. Sebab, dana asing mendadak pergi dan melepas investasi di negara berkembang. "CDS Indonesia naik paling tinggi akibat isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tak kunjung jelas," ujar Lana. Kenaikan CDS itu memengaruhi fluktuasi harga obligasi di pasar domestik. Pasar obligasi makin tertekan karena investor meminta
yield tinggi. Tak heran, lelang surat utang negara (SUN) sepi peminat. Ambil contoh, dalam lelang SUN, 18 Juni 2013, total penawaran yang masuk hanya Rp 7,7 triliun. Pemerintah hanya memenangkan Rp 2,6 triliun. Padahal, target indikatif sebesar Rp 8 triliun. Menurut Herdi Ranu Wibowo,
Head of Fixed-Income BCA Sekuritas, kenaikan CDS ini membawa sentimen negatif sehingga asing keluar dari SUN. Akibatnya, harga SUN tertekan dan
yield naik. "Penurunan harga saat ini sudah tercermin, tinggal mencermati besaran inflasi saja akibat harga BBM naik. Kecenderungan
yield masih akan naik," kata Herdi.
Ia melihat, investor akan mengambil sikap hati-hati. Investor masih akan mencermati besaran inflasi setelah kenaikan harga BBM. Analis NC Securities I Made Adi Saputra, menambahkan, spekulasi kenaikan inflasi menjadi salah faktor kurangnya minat investor dalam lelang SUN. Hal tersebut mendorong investor meminta imbal hasil yang tinggi agar
return investasinya positif. Pelemahan rupiah juga makin menekan pasar obligasi karena menyebabkan investor asing menjual obligasi. "Investor pun khawatir akan kemungkinan The Fed mengakhiri stimulus," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati