KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Credit Default Swap (CDS) atawa persepsi risiko investasi 5 tahun Indonesia kembali meningkat. Pelemahan rupiah menjadi salah satu pendorongnya. Berdasarkan World Government Bonds, CDS 5 tahun Indonesia berada di level 75,36 pada Jumat (29/11), meningkat 10,03% dalam sebulan terakhir. Beriringan, pasangan USDIDR menguat 1,02% dalam sebulan, berdasarkan Trading Economics Jumat (29/11) pukul 17.52 WIB, yang berarti rupiah melemah 1,02% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kepala Divisi Riset Ekonomi Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Suhindarto mengatakan, kenaikan CDS 5 tahun Indonesia terjadi seiring dengan meningkatnya risiko translasi. Asing keluar dari pasar modal domestik, yang pada akhirnya meningkatkan tekanan terhadap rupiah.
"Rupiah yang tertekan kemudian menimbulkan risiko translasi bagi investor dan mendorong mereka untuk meminta premi yang lebih tinggi, sebagaimana tercermin dari kenaikan premi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (29/11). Maklum, lanjutnya,
buffer dari neraca dagang maupun neraca transaksi berjalan secara keseluruhan belum cukup tangguh untuk mengimbangi permintaan dolar ketika investor asing keluar dari pasar modal domestik. Kondisi tersebut membuat rupiah rentan ketika asing keluar, yang mana pada akhirnya memaksa Bank Indonesia (BI) mengintervensi pasar melalui instrumen yang dimilikinya.
Baca Juga: Program Tiga Juta Rumah, Begini Strategi Perbankan Siapkan Skema Likuiditas Sementara itu, perang Ukraina semakin memanas dalam beberapa hari terakhir. Rusia meluncurkan
intermediate-range ballistic missile (IRBM) Oreshnik sebagai balasan atas peluncuran missile oleh Ukraina setelah AS dan anggota NATO mengizinkan Ukraina untuk menggunakan
missile produksi mereka. Kemudian, perang di Timur masih berlangsung dalam beberapa minggu terakhir, yang mana berkontribusi pada memburuknya sentimen eksternal. Meski ada gencatan senjata baru-baru ini, namun, tensi di Timur Tengah masih perlu diwaspadai karena dapat tereskalasi kembali sewaktu-waktu. Dari domestik, pertumbuhan ekonomi yang relatif lebih lambat dari triwulan-triwulan sebelumnya juga turut berkontribusi terhadap peningkatan tekanan pada nilai tukar rupiah. PDB riil Indonesia tumbuh 4,95% YoY pada kuartal III 2024, lebih lemah daripada 5,05% YoY pada kuartal II 2024. "Rilis data tersebut menjadi sentimen negatif bagi pasar saham karena kinerjanya terkait erat dengan kinerja pertumbuhan ekonomi," sebutnya.
Baca Juga: Rupiah Masih Bergerak Fluktuatif, Ekonom Beberkan Biang Keroknya Pefindo menilai, asing memanfaatkan sentimen pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dan memburuknya sentimen eksternal untuk
profit taking. Setelah masuk secara signifikan Agustus- September 2024, mencapai Rp 68,64 triliun, modal asing kemudian perlahan mengalir keluar dari pasar saham. Di Oktober 2024, asing membukukan jual neto sebesar Rp 11,27 triliun. Kemudian, selama 1-25 November 2024, asing kembali membukukan jual bersih di pasar saham sebesar Rp 13,48 triliun. Menurut dia, tekanan terhadap rupiah akibat arus keluar modal asing semakin besar karena pada saat yang sama, asing juga membukukan jual bersih di pasar surat utang pemerintah. Kondisi itu yang kemudian memaksa BI menginternvensi pasar valas. "Bank Indonesia juga masih mempertahankan suku bunga tidak berubah untuk menjaga
spread dengan pasar AS demi menghindari tekanan lebih lanjut terhadap rupiah, selain juga menaikkan yield SRBI menjadi di atas 7% untuk tenor 12 bulan pada dua lelang terakhir," jelasnya.
Baca Juga: Moody's Meragukan Keberlanjutan Gencatan Senjata Israel dengan Hizbullah Efek ke pasar utang
Suhindarto menuturkan, sentimen eksternal memburuk seiring dengan kemenangan Trump karena mengusung kebijakan proteksionisme. Pelaku pasar memperkirakan akan ada lebih banyak pemotongan pajak perusahaan, deregulasi, penerbitan insentif fiskal, dan tarif yang akan dikenakan kepada barang impor di bawah pemerintahan Trump 2.0. "Dua kebijakan potensial Trump 2.0 yang kami nilai akan memiliki implikasi yang serius terhadap pasar surat utang, di antaranya adalah pemangkasan pajak, terutama pajak korporasi, serta kenaikan tarif impor untuk seluruh barang maupun barang dari China," sebutnya. Pefindo berpandangan ketidakpastian kebijakan dalam beberapa bulan mendatang, baik di AS maupun di negara lain sebagai respons kebijakan Trump 2.0 dapat menciptakan volatilitas di pasar. Kondisi ini berpotensi membuat minat terhadap pasar surat utang negara berkembang akan berkurang karena investor global lebih
risk averse dan menempatkan dananya instrumen yang dinilai lebih 'aman'. Yield US Treasury (UST) juga dinilai berpotensi bertahan di level tinggi dalam jangka menengah. Sebab, inflasi AS diperkirakan akan cenderung lebih kaku untuk turun, defisit fiskal yang besar, dan tingkat utang AS yang meningkat. Kondisi ini akan membatasi ruang penurunan yield di pasar domestik karena perlu mempertahankan premi agar tetap menarik terhadap pasar AS. "Itu juga akan menambah tekanan terhadap pasar surat utang domestik selain dari peningkatan pasokan karena pelebaran defisit yang ditargetkan dan jatuh tempo surat utang pemerintah yang lebih besar," imbuhnya.
Berdasarkan Trading Economics, yield SUN 10 tahun berada di 6,95% pada Jumat (29/11) pukul 18.13 WIB, naik 0,11% dalam sebulan terakhir. Di sisi lain, yield UST turun 0,09% dalam sebulan terakhir ke 4,21%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati