KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat premi risiko investasi alias Credit Default Swap (CDS) Indonesia naik sepekan terakhir. Sentimen negatif eksternal dinilai menjadi penyebabnya. Berdasarkan data World Government Bonds, CDS 5 tahun Indonesia berada di level 70,90. Angka tersebut naik 3,59% dari pekan lalu. Chief Economist Pefindo Suhindarto mengatakan, rilis data perekonomian global terbaru menunjukkan bahwa tingkat inflasi Amerika Serikat (AS) kembali naik di bulan Februari lalu. Sehingga, ini memupuskan harapan akan penurunan suku bunga lebih awal.
"Kondisi tersebut telah mendorong naik
yield AS dalam dua minggu terakhir," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (22/3). Berdasarkan datanya,
yield US Treasury (UST) 10 tahun naik ke 4,27% per Kamis (21/3) dari dua pekan sebelumnya di 4,1%. Sementara
yield obligasi Indonesia 10 tahun terkoreksi ke 6,62% dari 6,63%. Hal itupun memicu aksi jual investor asing di negara berkembang dalam dua minggu terakhir. Bahkan, pekan lalu asing membukukan jual bersih mingguan yang cukup besar, melebihi keseluruhan arus masuk di bulan Februari 2024.
Baca Juga: Rupiah Bakal Terapresiasi Bila Suku Bunga Mulai Diturunkan di Semester II-2024 Di sisi lain, Darto melihat bahwa dua pekan terakhir pasar telah memasuki fase jenuh beli, dan pada saat yang sama terdapat sentimen negatif dari kenaikan inflasi AS, sehingga para spekulan mengambil momen untuk mengambil untung. "Mereka keluar dari pasar surat utang domestik untuk merealisasikan keuntungan sambil menunggu harga terkoreksi menjadi cukup murah untuk masuk kembali," sebutnya. Lanjut Darto, peningkatan aktivitas spekulatif ini tercermin dari kenaikan
yield. Yield jangka pendek naik lebih tinggi daripada
yield jangka panjang, misalnya
yield 2 tahun naik dari 6,29% pada 11 Maret 2024 menjadi 6,45% pada 18 Maret; lebih tinggi daripada kenaikan
yield 10 tahun dari 6,63% menjadi 6,65% pada periode yang sama. Secara fundamental, Pefindo menilai Indonesia masih akan tetap menarik. Ini juga mengacu pada laporan Fitch atas peringkat
sovereign Indonesia dan penegasan risiko pasar domestik relatif stabil. "Faktor lainnya adalah tingkat pengembalian masih relatif menarik dibandingkan dengan negara-negara berperingkat di sekitar BBB," katanya.
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Proyeksikan Dana Investasi Rp 812 Triliun pada Tahun 2024 Darto memaparkan tingkat pengembalian Indonesia di level 235, hanya kalah dari India (279) dan Meksiko (501) dilihat dari premi yang ditawarkan. "Saya memperkirakan risiko investasi hingga akhir tahun akan lebih baik daripada dalam dua tahun terakhir, melihat prospek pelonggaran moneter akan menjadi semakin nyata," sebutnya. Lebih rinci,
pertama, risiko suku bunga akan turun seiring dengan kemungkinan penurunan suku bunga.
Kedua, risiko translasi terjaga seiring dengan surplus dagang dan tekanan
spread suku bunga yang mereda.
Ketiga, risiko
wait and see telah memudar seiring dengan telah selesainya pemilu yang dilangsungkan dalam satu putaran. Keempat, risiko tekanan inflasi telah menurun yang tercermin dari pergerakannya yang konsisten berada pada rentang target BI. Namun, pihaknya juga mewaspadai beberapa risiko untuk masih bertahan.
Pertama, risiko geopolitik, yang mana kemungkinan masih akan bertahan dalam beberapa waktu ke depan. Kedua, risiko kenaikan inflasi secara
seasonal selama Ramadan dan Idul Fitri pada bulan ini dan bulan depan.
Baca Juga: Dana Asing Rp 23,34 Triliun Cabut dari Pasar Surat Utang Sejak Awal 2024 Dari berbagai pertimbangan itu, Darto menilai pasar saham dan surat utang tetap menjadi instrumen yang berprospek menarik. Pasar mengantisipasi penurunan suku bunga akan segera dimulai. Suku bunga lebih rendah akan positif bagi perekonomian seperti terhadap penurunan
leverage keuangan, peningkatan belanja rumah tangga, dan peningkatan investasi. Penurunan suku bunga akan menjadi katalis bagi aktivitas ekonomi, yang mana pada akhirnya akan mendorong kinerja emiten saham dan surat utang korporasi. Sementara itu, penurunan suku bunga berkorelasi negatif dengan harga surat utang pemerintah. Dengan kata lain, ketika suku bunga turun, harga surat utang pemerintah akan naik. "Namun memang, daya ungkit biasanya akan lebih besar terjadi di pasar saham dan pasar surat utang korporasi daripada pasar surat utang pemerintah," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati