KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah potensi pemburukan kualitas kredit yang mengintai, langkah antisipasi mulai tampak dari beberapa bank digital di Indonesia. Hal tersebut tampak dari pembentukan pencadangan yang tebal dari bank-bank tersebut. Ambil contoh, PT Bank Raya Indonesia Tbk (
AGRO) atau Bank Raya yang mencatat pencadangan per April 2024 sebesar Rp 163,14 miliar. Padahal, pada periode sama tahun lalu, AGRO hanya membentuk pencadangan senilai Rp 25,7 miliar. Di sisi lain, NPL gross dari Bank Raya juga masih terlihat di level 4,28% per Maret 2024. Angka tersebut masih tampak naik jika dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang di level 4,1%.
Baca Juga: Kinerja Emiten Bank Digital Menggeliat di Tengah Penurunan Harga Saham Direktur Utama Bank Raya Ida Bagus Ketut Subagia mengungkapkan bahwa saat ini NPL Bank Raya yang tercatat sejatinya merupakan portofolio kredit masa lalu. Artinya, masih memerlukan waktu untuk menurunkan tingkat tersebut. “Salah satu caranya ya dengan meningkatkan pencadangan yang cukup agar bisa dilakukan penghapusbukuan,” ujarnya saat datang ke KONTAN, Kamis (27/6). Di sisi lain, ia bilang bahwa akan menggenjot kredit digital yang kini menjadi andalan Bank Raya. Sehingga, jika outstanding kredit digital bisa naik itu akan menurunkan NPL kredit masa lalu dengan catatan kualitas kredit digitalnya tetap bagus.
Baca Juga: Mulai Konsisten Cetak Laba, Kinerja Saham Bank Digital Masih Tak Bertenaga Sebagai informasi, saat ini porsi kredit digital yang dimiliki Bank Raya masih sekitar 20%. Bagus pun berharap itu bisa naik menjadi 50% setidaknya di 2026. “NPL kredit digital juga kita jaga di bawah level 3%,” ujar Bagus. Serupa, PT Allo Bank Indonesia Tbk (
BBHI) atau Allo Bank juga terlihat menaikkan pencadangan yang dimiliki. Per Mei 2024, pencadangan Allo Bank naik sekitar 29% YoY menjadi Rp 16 miliar. Kondisi tersebut juga sejalan dengan kenaikan NPL gross yang dimiliki Allo Bank pada kuartal I-2024. Di mana, NPL gross dari 0,05% menjadi 0,39%. Direktur Utama Allo Bank Indra Utoyo pun mengungkapkan Allo Bank terus menerapkan prinsip-prinsip Risk Management dan melakukan pemantauan atas risiko kredit melalui berbagai indikator risiko. “Ini untuk memastikan bahwa portofolio Bank masih sejalan dengan risk appetite dan risk tolerance yang telah ditetapkan,” ujarnya. Lebih lanjut, Indra bilang proses monitoring risiko kredit secara kontinyu dilakukan baik di level Direksi dan Dewan Komisaris sesuai dengan prinsip-prinsip Good Corporate Governance. Di tambah, bank mengambil sikap yang lebih konservatif untuk meningkatkan kredit dengan penuh kehati-hatian. “Kami lebih berfokus pada debitur berkualitas, agar kami mampu membukukan kinerja keuangan yang sehat secara berkelanjutan,” ujarnya.
Baca Juga: Laba Bank Jago Naik 30,41% YoY Per Mei 2024 Sedikit berbeda, PT Bank Jago Tbk (
ARTO) justru mampu menurunkan pencadangan secara tahunan. Per Mei 2024, beban tersebut senilai Rp 96,5 miliar dari tahun sebelumnya yang senilai Rp 228,56 miliar.
Hal tersebut menopang efisiensi untuk pos beban operasional. Di mana, beban operasional yang dibukukan Bank Jago tampak turun sekitar 19,76% YoY menjadi Rp 536,32 miliar. Meski demikian, Head of Sustainability & Digital Lending Bank Jago Andy Djiwandono menyirarkan bahwa hal tersebut bukan berarti risiko kredit di Bank Jago tak ada. Ia bilang Bank Jago selalu mengukur risiko-risiko dengan memilih atau menyeleksi mitra pembiayaan secara berkala. “Kami terus mempelajari risiko, perilaku, dan tren pada setiap mitra sehingga bisa mengantisipasi potensi kualitas kredit yang memburuk,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto