KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman pembengkakan anggaran subsidi tahun 2018 mulai terlihat. Lihat saja, pemerintah memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik bersubsidi tidak akan naik hingga 31 Maret 2018. Padahal, harga minyak mentah dunia dalam tren meningkat. Data
CNBC menunjukkan harga kontrak minyak West Texas Intermediate (WTI) pada Selasa (26/12) ditutup naik US$ 1,5 atau 2,6% menjadi US$ 59,97 per barel. Ini merupakan level penutupan terbaik sejak 24 Juni 2015. Sebelumnya, harga kontrak yang sama sempat menyentuh US$ 60 untuk kali pertama dalam 2,5 tahun. Sementara harga kontrak minyak Brent naik US$ 1,8 atau 2,8% menjadi US$ 67,05 per barel. Harga minyak Brent juga sempat bertengger di posisi tertinggi harian di level US$ 67,10 per barel, level tertinggi sejak Mei 2015.
Hingga kuartal I-2018, harga minyak dunia diperkirakan masih naik meskipun pelan. Goldman Sachs memperkirakan acuan harga minyak Brent hingga akhir kuartal I-2018 menjadi US$ 62 per barrel. Adapun acuan harga minyak AS West Texas Intermediate (WTI) akan mencapai sebesar US$ 57,5 per barrel. Dengan rata-rata harga minyak WTI pada November lalu sebesar US$ 56,81 per barel, harga minyak Indonesia atau
Indonesia crude price (ICP) senilai US$ 59,83 per barel. Sehingga jika berkaca pada proyeksi harga minyak Goldman Sachs, ICP pada kuartal I-2018 bakal bertengger di atas US$ 59 per barel. Sedangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018, ICP ditetapkan sebesar US$ 48 per barel. Nota Keuangan APBN 2018 mencatat, hasil stress test kenaikan ICP sebesar US$ 20 per barel akan menambah beban subsidi sebesar Rp 11,68 triliun. Penambahan beban itu antara lain berasal dari subsidi energi, yakni BBM dan listrik. Dua subsidi ini sangat terpengaruh kenaikan harga minyak. Sedangkan APBN 2018 hanya menganggarkan subsidi energi Rp 94,42 triliun, naik tipis dari perkiraan tahun 2017 Rp 89 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, APBN 2018 memang mengasumsikan tidak ada kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Namun ia mengaku akan terus memantau tren kenaikan harga minyak dunia yang tengah terjadi saat ini untuk mengetahui risiko fiskal pada tahun depan. "APBN 2018 memang asumsikan tidak ada kenaikan BBM dan listrik. Jadi, kalau sampai (ada) kenaikan harga (minyak) internasional, nanti kami lihat di penghitungan subsidi ataupun penerimaan negara kita," jelas Sri Mulyani di Jakarta, Rabu (27/12). Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, risiko fiskal atas kebijakan harga BBM dan listrik yang diputuskan tetap hingga 31 Maret 2018 itu saat ini belum diketahui. Sebab, tren harga minyak yang naik terus saat ini masih belum bisa diprediksi secara pasti. "Nanti kami lihat di pelaksanaan APBN 2018, karena perubahan harga minyak fluktuatif, tidak bisa diprediksi," papar Askolani. Tahun politik Eko Listyanto, peneliti Institute for Developtment Economic and Finance (INDEF) berpendapat, kebijakan pemerintah untuk menahan harga BBM dan tarif listrik hingga kuartal I-2018 akan berdampak positif berupa terkendalinya inflasi. Inflasi administered price akan stabil rendah, sehingga membantu pemulihan daya beli konsumen. Namun, kebijakan itu juga berdampak negatif, yakni memperbesar kebutuhan anggaran subsidi listrik. "Keuangan Pertamina sebagai distributor BBM Premium juga semakin terbebani," jelas Eko.
Pertamina akan menanggung selisih jika pemerintah tidak menambah subsidi energi atau menyesuaikan harga BBM. "Utang Pertamina bisa membengkak, kalau ini dilakukan, saya khawatir terjadi kelangkaan pasokan Premium dan LPG 3 kg," katanya. Kepala Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistyaningsih menganalisa, pemerintah akan terus mempertahankan harga BBM dan tarif listrik sepanjang tahun 2018 meskipun harga minyak dalam trend naik. Agar anggaran subsidi tak jebol, pemerintah akan instruksikan Pertamina menghemat penyaluran BBM bersubsidi, Premium dan LPG 3 kg. Hal itu karena, "Tahun depan adalah tahun politik," kata Lana. Pada tahun 2018, sebanyak 171 daerah akan melakukan Pilkada serentak. Sedangkan di 2019, ada agenda pemilu presiden, sehingga petahana akan lebih suka dengan kebijakan populis. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie