KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Instrumen
junk bond atau obligasi berperingkat di luar
investment grade tergolong minim di Indonesia. Hal ini akibat risiko instrumen tersebut yang terlampaui tinggi kendati dikompensasikan dengan tawaran kupon di atas rata-rata. Terkait fenomena
junk bond, Direktur Utama PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Salyadi Saputra mengatakan, pasar obligasi seperti itu bisa dibilang tidak ada dalam lingkup domestik Indonesia. Pasalnya, risiko gagal bayar yang ditanggung investor untuk junk bond jauh lebih tinggi dibandingkan obligasi korporasi lainnya yang berperingkat
investment grade. “Tidak ada investor yang mau beli obligasi yang non-
investment grade,” ucap dia kepada Kontan.co.id, Senin (22/7).
Pefindo menurut Salyadi hanya melakukan pemeringkatan pada obligasi korporasi lokal yang masuk dalam kategori
investment grade. Analis Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) Roby Rushandie menyampaikan, hingga saat ini pihaknya tidak melakukan valuasi terhadap obligasi yang masuk kategori junk bond. “Kami mengklasifikasikan junk bond jika peringkatnya di bawah BBB-,” kata dia, Senin (22/7). Kalaupun ada
junk bond yang beredar di Indonesia, instrumen tersebut muncul akibat adanya penurunan peringkat dari
investment grade menjadi non-
investment grade. Roby mencatat, saat ini hanya terdapat tiga seri obligasi non-
investment grade yang aktif. Dua seri di antaranya merupakan obligasi milik PT Sumberdaya Sewatama, sedangkan sisanya berasal dari obligasi milik PT Greenwood Sejahtera Tbk (GWSA). “Awalnya seri-seri itu masuk kategori
investment grade, kemudian mengalami
downgrade dari lembaga pemeringkat sampai menjadi non
-investment grade,” papar dia. Dari situ, Roby menyebut, porsi
outstanding junk bond tak lebih dari 1% dari total outstanding di pasar obligasi korporasi di Indonesia. Adapun nilai
outstanding obligasi korporasi di Indonesia menurut data IDX tercatat sebesar Rp 417,25 triliun per akhir Juni silam. Dengan nilai
outstanding yang rendah, obligasi ini tentu tidak likuid. Sekadar catatan, beberapa surat utang korporasi asal Indonesia yang beredar di luar negeri sebenarnya ada yang masuk dalam kelompok
junk bond.
Ambil contoh pada obligasi global milik PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT) yang mengalami penurunan peringkat utang dari BB- menjadi CCC- oleh S&P Global Ratings. Hal ini terjadi akibat produsen tekstil terbesar di Indonesia tersebut gagal membayar kupon obligasi dollar AS yang jatuh tempo pada 10 Juli lalu. Asal tahu saja, awal Maret kemarin, Delta Merlin menerbitkan obligasi global senilai US$ 300 juta dengan tenor 5 tahun dan kupon sebesar 8,625%. Saat itu, obligasi tersebut sempat memperoleh permintaan lebih dari US$ 1 miliar. Dengan peringkat CCC-, jelas obligasi Delta Merlin ini tak lagi berada dalam kategori
investment grade. Akibat kasus gagal bayar yang berujung pada penurunan peringkat utang, status Indonesia yang sempat menjadi salah satu surga bagi pemegang
junk bond dipertanyakan. Bloomberg pun menyebut, tingkat kekhawatiran investor pemegang
junk bond melonjak jadi 11% atau tertinggi sejak 2016 silam. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi