JAKARTA. Masih ingatkah Anda pada medio 2012 lalu, ada beleid baru untuk industri waralaba, bertajuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Aturan itu sekaligus memperbarui peraturan sebelumnya yakni Permendag nomor 31 tahun 2008. Seperti yang pernah diberitakan dalam laporan utama KONTAN (September, 2012) lalu, tak semua pihak menilai positif aturan ini.Namun, saat ini beleid tersebut bisa dibilang menjadi dewa penolong bagi pasar moderen berjenis minimarket dari serbuan investor asing. Mengutip pemberitaan Direktorat Perdagangan Dalam Negeri dalam situs resminya, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo membeberkan lima hal yang melatarbelakangi pemerintah memperbarui beleid tersebut.Satu alasan yang cukup menarik adalah perihal penemuan indikasi perusahaan minimarket asing yang mencoba bermain di pasar ritel kecil dengan memanfaatkan sistem waralaba. Meski tak menunjukkan dengan pasti minimarket mana yang dimaksud, pemerintah mengatakan praktik tersebut tidak diperbolehkan. Alasannya, ritel kecil hanya diperbolehkan untuk pengusaha dalam negeri murni alias tertutup untuk Penanaman Modal Asing (PMA). Ini sesuai dengan aturan Permendag yang menyatakan bahwa gerai waralaba dengan luas di bawah 400 m² harus dikuasai sepenuhnya oleh pemodal dalam negeri.Gerai dengan luasan 400 m² mengacu pada defi nisi minimarket. Sementara definisi untuk supermarket berluas 1.200 m² dan department store memiliki luas di bawah 2.200 m². Tak ayal aturan tersebut membawa angin segar bagi minimarket Tanah Air yang banyak mengembangkan skema waralaba untuk mengepakkan jejaring bisnis mereka. “Aturan tersebut menjadi proteksi bagi minimarket dari investor asing,” aku Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama Wiwik Yusuf. Indomarco adalah perusahaan yang mengelola minimarket bernama Indomaret.Suara dukungan juga meluncur dari kompetitor terdekat Indomaret yakni Alfamart, minimarket yang bergerak di bawah bendera PT Sumber Alfaria Trijaya. Wakil Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya, Pudjianto, mengatakan, ekspansi investor asing tak bisa dihindari pada era globalisasi.Satu-satunya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperhatikan pelaku usaha kelas menengah dan kecil. Karena itu sudah selayaknya jika pemerintah menaruh perhatian khusus kepada minimarket, yang notabene menjadi ajang investasi pemodal kelas menengah.Asal tahu saja, rata-rata pelaku ritel minimarket mematok biaya investasi dalam skema waralaba antara Rp 400 juta hingga Rp 500 juta. Biaya ini mencakup untuk manajemen, tata ruang dan perlengkapan toko plus stok barang.Sementara besaran investasi tempat usaha tergantung lokasi dan jenis tempat yang dipilih tiap investor. Sebagai gambaran, lokasi di rumah toko atawa ruko wilayah Jakarta. Dengan harga jual ruko antara Rp 1 miliar hingga Rp 2,5 miliar, ratarata biaya sewa sekitar 5% dari harga, maka biaya sewa antara Rp 50 juta - Rp 125 juta per tahun.Kekuatan lokalNamun bukan cuma adanya perisai regulasi yang menyebabkan para pelaku ritel minimarket cukup percaya diri. Jaringan gerai yang sudah kadung menjamur hingga ribuan juga merupakan keunggulan mereka untuk bersaing dengan investor asing. Tentu saja dengan asumsi, investor asing bisa atau diperbolehkan membuka usaha minimarket.Meski tak ada catatan yang lebih detil perihal kapitalisasi pasar Indomaret dan Alfamart, sepertinya tak salah jika kedua minimarket ini disebut sebagai raja dan ratu dalam bisnis minimarket. Indomaret yang berdiri sejak 1988 memiliki gerai 7.500 buah sedangkan Alfamart yangada 11 tahun setelahnya sudah mengoleksi 7.000 buah gerai. “Dengan jaringan yang sudah banyak, akan sulit bagi investor asing untuk bisa mengejar minimarket seperti kami,” ujar Pudjianto lagi.Jumlah gerai SBMart - minimarket yang cukup punya nama di wilayah Jawa Barat, dan baru buka lapak sejak 2010 - juga tak mengecewakan. Direktur Ritel SBMart, Gustaf Ismail, mengaku gerai yang dikelola oleh Koperasi Sejahtera Bersama tersebut kini sudah ada 150 buah dan paling berjubel di wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.Pada kondisi seperti “tak tersentuh” investor asing tersebut, pelaku ritel minimarket punya keistimewaan karena juga bisa menantang investor asing yang lebih memilih bermain dalam ceruk bisnis eceran bernama convenience store. Istilah terakhir itu merujuk pada minimarket yang menyediakan tempat kongkow dan makanan produksi mereka sendiri.Kalau Anda masih ingat, konsep convenience store ini awalnya pernah menimbulkan silang sengkarut di kalangan pelaku bisnis ritel. Sebab posisi “si Banci” ini semula diatur Kementerian Pariwisata dan bukan Kementerian Perdagangan (Kemendag).Lepas dari itu, alih-alih latah, para pelaku ritel minimarket sepertinya tak rela membiarkan ceruk convenience store dilahap sendiri sang pionir, PT Modern Putra Indonesia melalui merek 7-Eleven.Jika Indomarco punya Indomaret Point, Sumber Alfaria punya Lawson. Sekedar mengingatkan Sumber Alfaria mengempit 54,57% saham PT Midi Utama Indonesia Tbk dari tangan PT Amanda Cipta Persada. Midi Utama adalah pemilik Lawson, waralaba convenience store asal Jepang.Dengan begitu, penantang mainstreem minimarket tersebut praktis hanya ada dua. Yakni 7-Eleven dan Circle K yang dikelola PT Circle K Indonesia. Keduanya adalah waralaba yang yang berasal dari Negeri Uwak Sam.Ngiler dengan langkah Indomarco dan Sumber Alfaria, SBMart juga sedang mempersiapkan diri untuk bisa masuk ke ceruk pasar tersebut. Namun sadar kompetitornya tak main-main, Gustaf pasang strategi berbeda. “Kami akan menyuguhkan suasana Islami, mungkin dengan menyediakan convenience store dimana pengunjung bisa menggelar acara pengajian atau bedah buku,” beber Gustaf.Apa yang disampaikan Gustaf tersebut semata-mata ingin sejalan dengan konsep yang diusung SBMart. Yakni minimarket yang menyasar keluarga Muslim dengan menjual produk halal dalam kacamata syariat Islam. Misal tak menjual minuman keras.Oya, penerapan syariat Islam juga mewujud dalam pola kerjasama waralaba yang ditawarkan. SBMart mengatur perjanjian waralaba selama lima tahun dengan penerima waralaba atau biasa disebut franchisee.Namun setoran kepada pemilik waralaba atau franchisor tidak berwujud pungutan royalti melainkan bagi hasil dari margin kotor sebesar 50:50. Dengan mayoritas jumlah penduduk Muslim di Tanah Air hingga 80%, Koperasi Sejahtera Bersama menilai ini adalah potensi pasar yang besar.Jika para peritel minimarket tak gentar, lalu bagaimana dengan peritel untuk jenis pasar moderen lain yang saat ini belum terjamah investor asing? Untuk kelas supermarket, ada beberapa pemain lokal dan cukup bergaung namanya seperti PT Sinar Sahabat Inti Makmur (pemilik Hari Hari Pasar Swalayan), PT Akur Pratama (pemilik Toserba Yogya) dan PT Tip Top Swalayan (pemilik Tip Top Supermarket).Lalu ada pula supermarket bernama Luwes. Kalau Anda tinggal di daerah Jawa Tengah, di bagian tengah dan utara, mungkin tak asing dengan supermarket yang menyasar kelas menengah ini.Sayang, tak satu pun peritel supermarket yang mau berbagi kisah mengenai strategi bertahan mereka kepada KONTAN.Namun jika melihat peta persaingan bisnis supermarket, bisa jadi para peritel lokal cukup gundah dengan kehadiran investor asing yang bisa leluasa mencengkeramkan kukunya di pasar dalam negeri. Aturan yang minim menyebabkan para pemain lokal harus bersaing dengan supermarket luar negeri dalam banyak hal, mulai dari kebutuhan modal hingga jaringan distribusi.Apalagi tak dipungkiri jika selera konsumen juga mengalami perubahan. “Ibarat teknologi, orang ke pasar moderen juga tak terlepas dari gaya hidup jadi kalau ritel lokal tak ikut berbenah bisa kalah dengan asing” kata Pudjianto.Pembengkakan beban operasionalJika pelaku ritel minimarket mengaku imun dari gencetan investor asing, bukan berarti mereka tak menghadapi kendala bisnis. Tak berbeda dengan pelaku usaha lain, kenaikan upah minimum provinsi atau UMP dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) menjadi ancaman terbesar bagi pelaku industri ritel tahun ini.Dus, para pelaku ritel mengaku upah merebut porsi yang besar dari total beban operasional. Alokasi upah, rata-rata antara 30% hingga 50% dari ongkos operasional. Sementara TDL menelan biaya 15%-20%.Pudjianto pun mengaku dua hal tersebut bakal menjadi kendala berat bagi industri ritel. “Kalau ada yang bilang margin kami lebih besar dari produsen itu tidak benar. Produsen masih bisa mencetak margin double digit kalau net margin minimarket itu hanya 2%-3% saja” kata Pudjianto.Gustaf sepakat. Kalaupun pelaku ritel mesti melakukan kompensasi, yaitu menutup pembengkakan beban operasional dengan menaikkan harga jual, hal itu tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, tapi secara bertahap agar konsumen tidak kaget.Selain itu, para peritel minimarket juga masih punya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan terkait aturan Permendag Nomer 68 tahun 2012 yang sudah disebutkan di awal. Kemendag mematok batas maksimal kepemilikan gerai hanya 150 buah dan sisa gerai yang sudah terlanjur dimiliki wajib diwaralabakan sebanyak 40% dari sisa setelah dikurangi 150 tersebut.Jadi misal jumlah gerai Alfamart saat ini 7.000, maka jumlah gerai yang wajib diwaralabakan adalah 40% x (7.000-150) = 2.740 gerai. Namun, Pudjianto mengaku kuota 30% gerai menjadi milik franchisee sudah terpenuhi. Adapun Wiwik menyatakan Indomaret sudah memenuhi kuota 35%.Potensi kenaikan beban operasional tadi diakui Pudjianto bisa mempengaruhi langkah Alfamart untuk segera menuntaskan kewajiban mencapai kuota 40% yang disyaratkan pemerintah.Tak cuma itu, kendala lain juga mungkin terjadi. “Kadang ada calon franchisee yang tidak cocok dengan lokasi kami tapi kadang kami yang tidak cocok dengan karakter franchisee karena kami tentu menginginkan agar jumlah gerai kami tetap bertambah,” ujar Pudjianto.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 23 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ritel mini terbantu regulasi
JAKARTA. Masih ingatkah Anda pada medio 2012 lalu, ada beleid baru untuk industri waralaba, bertajuk Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 53 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Aturan itu sekaligus memperbarui peraturan sebelumnya yakni Permendag nomor 31 tahun 2008. Seperti yang pernah diberitakan dalam laporan utama KONTAN (September, 2012) lalu, tak semua pihak menilai positif aturan ini.Namun, saat ini beleid tersebut bisa dibilang menjadi dewa penolong bagi pasar moderen berjenis minimarket dari serbuan investor asing. Mengutip pemberitaan Direktorat Perdagangan Dalam Negeri dalam situs resminya, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Gunaryo membeberkan lima hal yang melatarbelakangi pemerintah memperbarui beleid tersebut.Satu alasan yang cukup menarik adalah perihal penemuan indikasi perusahaan minimarket asing yang mencoba bermain di pasar ritel kecil dengan memanfaatkan sistem waralaba. Meski tak menunjukkan dengan pasti minimarket mana yang dimaksud, pemerintah mengatakan praktik tersebut tidak diperbolehkan. Alasannya, ritel kecil hanya diperbolehkan untuk pengusaha dalam negeri murni alias tertutup untuk Penanaman Modal Asing (PMA). Ini sesuai dengan aturan Permendag yang menyatakan bahwa gerai waralaba dengan luas di bawah 400 m² harus dikuasai sepenuhnya oleh pemodal dalam negeri.Gerai dengan luasan 400 m² mengacu pada defi nisi minimarket. Sementara definisi untuk supermarket berluas 1.200 m² dan department store memiliki luas di bawah 2.200 m². Tak ayal aturan tersebut membawa angin segar bagi minimarket Tanah Air yang banyak mengembangkan skema waralaba untuk mengepakkan jejaring bisnis mereka. “Aturan tersebut menjadi proteksi bagi minimarket dari investor asing,” aku Direktur Pemasaran PT Indomarco Prismatama Wiwik Yusuf. Indomarco adalah perusahaan yang mengelola minimarket bernama Indomaret.Suara dukungan juga meluncur dari kompetitor terdekat Indomaret yakni Alfamart, minimarket yang bergerak di bawah bendera PT Sumber Alfaria Trijaya. Wakil Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya, Pudjianto, mengatakan, ekspansi investor asing tak bisa dihindari pada era globalisasi.Satu-satunya yang bisa dilakukan pemerintah adalah memperhatikan pelaku usaha kelas menengah dan kecil. Karena itu sudah selayaknya jika pemerintah menaruh perhatian khusus kepada minimarket, yang notabene menjadi ajang investasi pemodal kelas menengah.Asal tahu saja, rata-rata pelaku ritel minimarket mematok biaya investasi dalam skema waralaba antara Rp 400 juta hingga Rp 500 juta. Biaya ini mencakup untuk manajemen, tata ruang dan perlengkapan toko plus stok barang.Sementara besaran investasi tempat usaha tergantung lokasi dan jenis tempat yang dipilih tiap investor. Sebagai gambaran, lokasi di rumah toko atawa ruko wilayah Jakarta. Dengan harga jual ruko antara Rp 1 miliar hingga Rp 2,5 miliar, ratarata biaya sewa sekitar 5% dari harga, maka biaya sewa antara Rp 50 juta - Rp 125 juta per tahun.Kekuatan lokalNamun bukan cuma adanya perisai regulasi yang menyebabkan para pelaku ritel minimarket cukup percaya diri. Jaringan gerai yang sudah kadung menjamur hingga ribuan juga merupakan keunggulan mereka untuk bersaing dengan investor asing. Tentu saja dengan asumsi, investor asing bisa atau diperbolehkan membuka usaha minimarket.Meski tak ada catatan yang lebih detil perihal kapitalisasi pasar Indomaret dan Alfamart, sepertinya tak salah jika kedua minimarket ini disebut sebagai raja dan ratu dalam bisnis minimarket. Indomaret yang berdiri sejak 1988 memiliki gerai 7.500 buah sedangkan Alfamart yangada 11 tahun setelahnya sudah mengoleksi 7.000 buah gerai. “Dengan jaringan yang sudah banyak, akan sulit bagi investor asing untuk bisa mengejar minimarket seperti kami,” ujar Pudjianto lagi.Jumlah gerai SBMart - minimarket yang cukup punya nama di wilayah Jawa Barat, dan baru buka lapak sejak 2010 - juga tak mengecewakan. Direktur Ritel SBMart, Gustaf Ismail, mengaku gerai yang dikelola oleh Koperasi Sejahtera Bersama tersebut kini sudah ada 150 buah dan paling berjubel di wilayah Kabupaten Bandung dan Kota Bandung.Pada kondisi seperti “tak tersentuh” investor asing tersebut, pelaku ritel minimarket punya keistimewaan karena juga bisa menantang investor asing yang lebih memilih bermain dalam ceruk bisnis eceran bernama convenience store. Istilah terakhir itu merujuk pada minimarket yang menyediakan tempat kongkow dan makanan produksi mereka sendiri.Kalau Anda masih ingat, konsep convenience store ini awalnya pernah menimbulkan silang sengkarut di kalangan pelaku bisnis ritel. Sebab posisi “si Banci” ini semula diatur Kementerian Pariwisata dan bukan Kementerian Perdagangan (Kemendag).Lepas dari itu, alih-alih latah, para pelaku ritel minimarket sepertinya tak rela membiarkan ceruk convenience store dilahap sendiri sang pionir, PT Modern Putra Indonesia melalui merek 7-Eleven.Jika Indomarco punya Indomaret Point, Sumber Alfaria punya Lawson. Sekedar mengingatkan Sumber Alfaria mengempit 54,57% saham PT Midi Utama Indonesia Tbk dari tangan PT Amanda Cipta Persada. Midi Utama adalah pemilik Lawson, waralaba convenience store asal Jepang.Dengan begitu, penantang mainstreem minimarket tersebut praktis hanya ada dua. Yakni 7-Eleven dan Circle K yang dikelola PT Circle K Indonesia. Keduanya adalah waralaba yang yang berasal dari Negeri Uwak Sam.Ngiler dengan langkah Indomarco dan Sumber Alfaria, SBMart juga sedang mempersiapkan diri untuk bisa masuk ke ceruk pasar tersebut. Namun sadar kompetitornya tak main-main, Gustaf pasang strategi berbeda. “Kami akan menyuguhkan suasana Islami, mungkin dengan menyediakan convenience store dimana pengunjung bisa menggelar acara pengajian atau bedah buku,” beber Gustaf.Apa yang disampaikan Gustaf tersebut semata-mata ingin sejalan dengan konsep yang diusung SBMart. Yakni minimarket yang menyasar keluarga Muslim dengan menjual produk halal dalam kacamata syariat Islam. Misal tak menjual minuman keras.Oya, penerapan syariat Islam juga mewujud dalam pola kerjasama waralaba yang ditawarkan. SBMart mengatur perjanjian waralaba selama lima tahun dengan penerima waralaba atau biasa disebut franchisee.Namun setoran kepada pemilik waralaba atau franchisor tidak berwujud pungutan royalti melainkan bagi hasil dari margin kotor sebesar 50:50. Dengan mayoritas jumlah penduduk Muslim di Tanah Air hingga 80%, Koperasi Sejahtera Bersama menilai ini adalah potensi pasar yang besar.Jika para peritel minimarket tak gentar, lalu bagaimana dengan peritel untuk jenis pasar moderen lain yang saat ini belum terjamah investor asing? Untuk kelas supermarket, ada beberapa pemain lokal dan cukup bergaung namanya seperti PT Sinar Sahabat Inti Makmur (pemilik Hari Hari Pasar Swalayan), PT Akur Pratama (pemilik Toserba Yogya) dan PT Tip Top Swalayan (pemilik Tip Top Supermarket).Lalu ada pula supermarket bernama Luwes. Kalau Anda tinggal di daerah Jawa Tengah, di bagian tengah dan utara, mungkin tak asing dengan supermarket yang menyasar kelas menengah ini.Sayang, tak satu pun peritel supermarket yang mau berbagi kisah mengenai strategi bertahan mereka kepada KONTAN.Namun jika melihat peta persaingan bisnis supermarket, bisa jadi para peritel lokal cukup gundah dengan kehadiran investor asing yang bisa leluasa mencengkeramkan kukunya di pasar dalam negeri. Aturan yang minim menyebabkan para pemain lokal harus bersaing dengan supermarket luar negeri dalam banyak hal, mulai dari kebutuhan modal hingga jaringan distribusi.Apalagi tak dipungkiri jika selera konsumen juga mengalami perubahan. “Ibarat teknologi, orang ke pasar moderen juga tak terlepas dari gaya hidup jadi kalau ritel lokal tak ikut berbenah bisa kalah dengan asing” kata Pudjianto.Pembengkakan beban operasionalJika pelaku ritel minimarket mengaku imun dari gencetan investor asing, bukan berarti mereka tak menghadapi kendala bisnis. Tak berbeda dengan pelaku usaha lain, kenaikan upah minimum provinsi atau UMP dan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) menjadi ancaman terbesar bagi pelaku industri ritel tahun ini.Dus, para pelaku ritel mengaku upah merebut porsi yang besar dari total beban operasional. Alokasi upah, rata-rata antara 30% hingga 50% dari ongkos operasional. Sementara TDL menelan biaya 15%-20%.Pudjianto pun mengaku dua hal tersebut bakal menjadi kendala berat bagi industri ritel. “Kalau ada yang bilang margin kami lebih besar dari produsen itu tidak benar. Produsen masih bisa mencetak margin double digit kalau net margin minimarket itu hanya 2%-3% saja” kata Pudjianto.Gustaf sepakat. Kalaupun pelaku ritel mesti melakukan kompensasi, yaitu menutup pembengkakan beban operasional dengan menaikkan harga jual, hal itu tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, tapi secara bertahap agar konsumen tidak kaget.Selain itu, para peritel minimarket juga masih punya pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan terkait aturan Permendag Nomer 68 tahun 2012 yang sudah disebutkan di awal. Kemendag mematok batas maksimal kepemilikan gerai hanya 150 buah dan sisa gerai yang sudah terlanjur dimiliki wajib diwaralabakan sebanyak 40% dari sisa setelah dikurangi 150 tersebut.Jadi misal jumlah gerai Alfamart saat ini 7.000, maka jumlah gerai yang wajib diwaralabakan adalah 40% x (7.000-150) = 2.740 gerai. Namun, Pudjianto mengaku kuota 30% gerai menjadi milik franchisee sudah terpenuhi. Adapun Wiwik menyatakan Indomaret sudah memenuhi kuota 35%.Potensi kenaikan beban operasional tadi diakui Pudjianto bisa mempengaruhi langkah Alfamart untuk segera menuntaskan kewajiban mencapai kuota 40% yang disyaratkan pemerintah.Tak cuma itu, kendala lain juga mungkin terjadi. “Kadang ada calon franchisee yang tidak cocok dengan lokasi kami tapi kadang kami yang tidak cocok dengan karakter franchisee karena kami tentu menginginkan agar jumlah gerai kami tetap bertambah,” ujar Pudjianto.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 23 - XVII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News