Rivalitas AS-China Mendorong Negara-Negara Asia Tenggara untuk Memiliki Kapal Selam



KONTAN.CO.ID - SINGAPURA. Rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan China di kawasan Laut China Selatan jelas memberikan suasana tegang bagi negara-negara Asia Tenggara. Beberapa di antaranya, seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina, bahkan terlibat gesekan langsung dengan China.

Kondisi ini membuat negara-negara kawasan tersebut mulai melihat kapal selam sebagai kebutuhan penting untuk memperkuat keamanan negaranya.

Di kawasan itu, Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Myanmar sudah memiliki kapal selam. Sementara itu Thailand dan Filipina sedang dalam proses mendapatkannya.


Kepemilikan kapal selam diyakini membuat musuh berpikir ulang untuk melakukan serangan. Dalam hal ini, negara-negara Asia Tenggara setidaknya memiliki satu pertahanan untuk mencegah aksi China.

Mengutip South China Morning Post, awal bulan ini Singapura memulai fase berikutnya dalam pengembangan kapal selam lewat kapal selam kelas Invincible buatan Jerman yang sedang dalam pengerjaan.

Baca Juga: Ancaman China Semakin Menjadi-jadi, Taiwan Perpanjang Wajib Militer jadi 1 tahun

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, dalam pengenalan program kapal selamnya mengatakan bahwa Angkatan Laut Singapura memiliki misi penting untuk memastikan kelangsungan hidupnya dan menjaga jalur komunikasi lautnya tetap terbuka.

Sementara itu, Indonesia pada bulan Februari lalu menandatangani perjanjian dengan Prancis untuk berkolaborasi dalam pembangunan dua kapal selam Scorpène.

Kapal selam tersebut diklaim memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menghindari pengamatan, sangat cepat, dan mampu melakukan misi seperti perang kapal anti-permukaan dan serangan jarak jauh.

Vietnam yang kini memiliki enam kapal selam juga telah bersiap menghadapi tantangan geopolitik. Pada tahun 2009, Vietnam membeli enam kapal selam kelas Kilo senilai US$2 miliar dari Rusia, menjadikannya armada kapal selam terbesar di Asia Tenggara.

Thailand pada tahun 2017 mulai berupaya menyusul beberapa tetangganya dalam memiliki kapal selam. Tahun itu Thailand menandatangani kesepakatan dengan China untuk membeli tiga kapal selam kelas Yuan.

Sayangnya, pengembang kapal selam milik negara China tidak dapat memperoleh mesin diesel yang diperlukan dari Jerman karena embargo senjata Uni Eropa yang diberlakukan di China.

Angkatan Laut Filipina sejak tahun lalu juga telah mencari kapal selam pertamanya. Sayangnya pandemi menghambat pencarian. Prancis dilaporkan telah menawarkan dua kapal selam berperforma tinggi sebagai imbalan izin untuk menjelajahi perairan berdaulat Filipina.

Baca Juga: 10 Negara Dengan Armada Angkatan Laut Terbesar di Tahun 2022

Tantangan Bagi Pemilik Kapal Selam

Di luar besarnya peran kapal selam, banyak negara dinilai tidak mampu mengoptimalkan fungsi sistem kelautan tersebut. Ian Storey, peneliti senior di Institut ISEAS-Yusof Ishak di Singapura, menyebut kapal selam sebagai sistem kelautan yang mahal dan rumit. 

"Kapal selam adalah salah satu sistem angkatan laut yang paling rumit dan mahal untuk dioperasikan. Terkadang angkatan laut tidak dapat menggunakannya secara efektif, mereka menjadi simbol kekuatan daripada kapal perang yang serius," kata Storey kepada South China Morning Post.

Lebih lanjut, Storey menyebut banyaknya jumlah kapal selam di Asia Tenggara bisa meningkatkan risiko kecelakaan di bawah laut. Hal ini jadi mengkhawatirkan karena sangat sedikit angkatan laut regional yang memiliki kapal penyelamat kapal selam.

Joshua Bernard Espena, seorang peneliti di International Development and Security Cooperation (IDSC) di Manila, mengatakan perairan Asia Tenggara yang dangkal menimbulkan tantangan taktis dan operasional bagi angkatan laut Asia Tenggara, terutama dalam menjaga kemampuan siluman kapal selam.

"Tanpa penunjukan musuh yang tepat dan di mana harus melawan mereka, kapal selam hanyalah mainan mahal untuk dibanggakan dengan teman bermain Anda di taman bermain," pungkas Espena.