Jengah melihat dominasi kekuatan asing di bisnis pakaian dan pernak-pernik kasual, Rizki Yanuar bersama dua rekannya mendirikan usaha pakaian berlabel Ouval Research. Krisis ekonomi justru jadi peluang, karena harga produk asing itu meroket. Namun, ternyata tak mudah memasarkan produk lokal dengan harga murah. Akhir dekade 1990-an boleh dibilang merupakan tonggak penting bagi industri clothing nasional. Tercatat pada 1997, sekelompok anak muda asal Bandung mencetuskan ide membentuk usaha produksi pakaian kasual.Mereka membidik pasar anak muda yang menggemari pakaian kasual yang cukup nyaman dan trendi. Tak lupa, mereka memasang banderol harga lebih murah agar bisa bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri. Meski menerapkan sistem pemasaran tradisional, mereka telah memasang merek pada produknya. Yaitu, Ouval Research. Modal awalnya tidak besar. "Saat itu, kalau tidak salah saya menyetor sekitar Rp 250.000," kata Rizki Yanuar, salah satu pendiri Ouval Research.Usaha ini diusung bersama dua rekannya, Arief Budiman dan Firman Firdaus. Menurut Rizki, salah satu pemicu kemunculan Ouval adalah keinginan menerobos dominasi pasar pakaian kasual nasional, yang selama ini dipegang produk clothing asing, seperti Amerika Serikat. Pada tahap awal, Ouval Research merilis produk pakaian, seperti kaus, jaket, celana panjang, dan tas. "Kami berpikir untuk membuat produk yang mewakili komunitas kami," ujar Rizki.Maka, sebagai langkah pembuka pasar, Rizki cs menawarkan produk Ouval pada komunitas terdekatnya yang memiliki minat olahraga, selera musik, serta pakaian yang sama. Waktu itu kondisi sedang krisis ekonomi. Harga barang impor naik semua. Toh, tak mudah menegakkan usaha baru tersebut. Mereka mesti berjuang meyakinkan para pelanggan bahwa produk yang ditawarkan tak kalah berkualitas dari produk asing. "Itu susah," imbuh Rizki. Orang lebih dulu ragu dengan kualitasnya, karena harganya jauh lebih murah. Apalagi, saat itu mereka masih menggunakan cara berdagang dari pintu ke pintu alias door to door. "Semua turun tangan dalam hal pemasaran," ujarnya. Karena keterbatasan modal dan waktu, maka mereka membuka pula layanan jasa usaha lain untuk memproduksi pesanan pakaian atau tas. "Modal terbatas, karena mayoritas kami baru lulus kuliah," kata Rizki. Mereka juga belum berupaya membuka akses kredit perbankan. Maklum, "Saat itu susah mencari pinjaman dari bank," tandas Rizki, yang juga alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini. Alhasil, dia mengambil tawaran pekerjaan di salah satu bank asing di Bandung. Namun, Rizki hanya bekerja kurang lebih setahun di sana. Dia memutuskan berhenti dan fokus pada pengembangan bisnis Ouval Research. "Lumayan bisa menambah pendapatan, sekalian modal buat usaha," ucapnya. Satu tahun berselang, tahun 1998, Rizki bersama kedua temannya makin serius menggarap potensi bisnis pakaian di Bandung. Mereka mulai menyewa satu tukang jahit yang bekerja penuh di bawah bendera Ouval Research. Setelah nama Ouval mulai dikenal kalangan anak muda Bandung, mereka memutuskan untuk membuka gerai sendiri dan menghentikan sistem penjualan secara door to door. Cuma, omzet gerai baru itu masih berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan. "Jarang yang mendatangi toko, karena lokasinya di Buah Batu yang cukup jauh dari pusat kota," ujarnya. Tapi, gerai itu dipertahankan karena bukan sekadar tempat menjajakan produk Ouval. "Gerai ini menjadi semacam tempat pembuktian eksistensi," ungkap Rizki. Terbukti, lewat kegigihan para punggawanya, Ouval berkembang dari sekadar pemain lokal di bisnis pakaian kasual. Lingkup pasarnya meluas ke seantero negeri, dengan jaringan cabang serta distributor yang cukup banyak. Boleh dibilang, Ouval merupakan pionir bisnis pakaian kasual di pasar nasional. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Rizki ingin mematahkan dominasi pakaian asing (1)
Jengah melihat dominasi kekuatan asing di bisnis pakaian dan pernak-pernik kasual, Rizki Yanuar bersama dua rekannya mendirikan usaha pakaian berlabel Ouval Research. Krisis ekonomi justru jadi peluang, karena harga produk asing itu meroket. Namun, ternyata tak mudah memasarkan produk lokal dengan harga murah. Akhir dekade 1990-an boleh dibilang merupakan tonggak penting bagi industri clothing nasional. Tercatat pada 1997, sekelompok anak muda asal Bandung mencetuskan ide membentuk usaha produksi pakaian kasual.Mereka membidik pasar anak muda yang menggemari pakaian kasual yang cukup nyaman dan trendi. Tak lupa, mereka memasang banderol harga lebih murah agar bisa bersaing dengan produk sejenis dari luar negeri. Meski menerapkan sistem pemasaran tradisional, mereka telah memasang merek pada produknya. Yaitu, Ouval Research. Modal awalnya tidak besar. "Saat itu, kalau tidak salah saya menyetor sekitar Rp 250.000," kata Rizki Yanuar, salah satu pendiri Ouval Research.Usaha ini diusung bersama dua rekannya, Arief Budiman dan Firman Firdaus. Menurut Rizki, salah satu pemicu kemunculan Ouval adalah keinginan menerobos dominasi pasar pakaian kasual nasional, yang selama ini dipegang produk clothing asing, seperti Amerika Serikat. Pada tahap awal, Ouval Research merilis produk pakaian, seperti kaus, jaket, celana panjang, dan tas. "Kami berpikir untuk membuat produk yang mewakili komunitas kami," ujar Rizki.Maka, sebagai langkah pembuka pasar, Rizki cs menawarkan produk Ouval pada komunitas terdekatnya yang memiliki minat olahraga, selera musik, serta pakaian yang sama. Waktu itu kondisi sedang krisis ekonomi. Harga barang impor naik semua. Toh, tak mudah menegakkan usaha baru tersebut. Mereka mesti berjuang meyakinkan para pelanggan bahwa produk yang ditawarkan tak kalah berkualitas dari produk asing. "Itu susah," imbuh Rizki. Orang lebih dulu ragu dengan kualitasnya, karena harganya jauh lebih murah. Apalagi, saat itu mereka masih menggunakan cara berdagang dari pintu ke pintu alias door to door. "Semua turun tangan dalam hal pemasaran," ujarnya. Karena keterbatasan modal dan waktu, maka mereka membuka pula layanan jasa usaha lain untuk memproduksi pesanan pakaian atau tas. "Modal terbatas, karena mayoritas kami baru lulus kuliah," kata Rizki. Mereka juga belum berupaya membuka akses kredit perbankan. Maklum, "Saat itu susah mencari pinjaman dari bank," tandas Rizki, yang juga alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini. Alhasil, dia mengambil tawaran pekerjaan di salah satu bank asing di Bandung. Namun, Rizki hanya bekerja kurang lebih setahun di sana. Dia memutuskan berhenti dan fokus pada pengembangan bisnis Ouval Research. "Lumayan bisa menambah pendapatan, sekalian modal buat usaha," ucapnya. Satu tahun berselang, tahun 1998, Rizki bersama kedua temannya makin serius menggarap potensi bisnis pakaian di Bandung. Mereka mulai menyewa satu tukang jahit yang bekerja penuh di bawah bendera Ouval Research. Setelah nama Ouval mulai dikenal kalangan anak muda Bandung, mereka memutuskan untuk membuka gerai sendiri dan menghentikan sistem penjualan secara door to door. Cuma, omzet gerai baru itu masih berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan. "Jarang yang mendatangi toko, karena lokasinya di Buah Batu yang cukup jauh dari pusat kota," ujarnya. Tapi, gerai itu dipertahankan karena bukan sekadar tempat menjajakan produk Ouval. "Gerai ini menjadi semacam tempat pembuktian eksistensi," ungkap Rizki. Terbukti, lewat kegigihan para punggawanya, Ouval berkembang dari sekadar pemain lokal di bisnis pakaian kasual. Lingkup pasarnya meluas ke seantero negeri, dengan jaringan cabang serta distributor yang cukup banyak. Boleh dibilang, Ouval merupakan pionir bisnis pakaian kasual di pasar nasional. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News