Robin Li: Mengusung budaya lokal demi menandingi Google (3)



Robin Li yakin, suatu saat dia akan menjadi pesaing terberat Google. Ia optimistis akan terus menguasai pasar China yang begitu besar, lantaran sebagai pemain lokal lebih memahami budaya negeri itu. Maklum, Robin menilai, perusahaan dari luar China sulit berkembang di pasar China karena kurang bisa menyesuaikan diri dengan budaya setempat. Meski begitu, tetap terdengar suara sumbang soal Baidu yang mungkin akan bernasib seperti dotcom lain.

Kesuksesan penjualan saham perdana alias IPO Baidu pada tahun 2005 lalu langsung mendongkrak kekayaan Robin Li hingga mencapai US$ 600 juta. Ia benar-benar tak menyangka hal itu bakal terjadi pada dirinya. "Ini adalah sebuah kejutan bagi saya yang tak pernah menduga performa seperti ini," ujar Robin.

Kenaikan harga saham Baidu di hari pertama perdagangan nan fantastis itu menjadi sebuah promosi yang menyadarkan semua orang bahwa Baidu adalah mesin pencari terbesar di China. Dalam sebuah wawancara dengan tabloid The Guardian, Robin memproklamasikan kesibukannya dalam membangun sebuah kerajaan yang suatu hari akan menjadi rival terberat Google.


Salah satu kunci keberhasilan Robin adalah kemampuannya untuk menerapkan pelbagai pengalamannya saat bekerja di Dow Jones yang berada di New Jersey dan Infoseek di Silicon Valley. Meskipun berada dalam satu negara, New Jersey merupakan pusat bisnis yang menuntut mobilitas tinggi; sementara Silicon Valley sangat menghargai proses kreativitas.

Setelah beberapa tahun mengoperasikan Baidu, Robin pun berkesimpulan, perbedaan budaya yang terlalu besar antara China dan negara-negara Barat membuat perusahaan sekaya apa pun susah memasuki pasar China.

Keyakinan Robin pun makin bertambah setelah melihat tiga portal teratas di Negeri Tembok Raksasa ternyata juga dimiliki oleh warga asal China. Ia menunjuk Yahoo! yang dimiliki oleh orang China dan perusahaan game online milik China lainnya, seperti Shanda dan Netease.

Robin pun menyelipkan fitur tambahan chatting room di mesin pencarinya. Soalnya, ia menyadari orang-orang China sangat senang menggosipkan bintang-bintang terkenal. Alhasil, ketika seseorang mencari situs seorang selebritis, ia langsung bisa bergosip ria soal bintang itu dengan sesama penggemar lainnya.

Selain itu, bagi pengguna internet di China, informasi bukanlah hal yang sangat penting. Pengguna internet yang mayoritas berusia kurang dari 30 tahun, lebih banyak menggunakan internet untuk bermain.

Robin pun menyulap Baidu supaya lebih cepat mencari situs permainan. Sebab, kebutuhan informasi penggunaan internet selalu berubah setiap saat. "Karena kami perusahaan lokal, kami mampu menangkap perubahan dengan sangat cepat. Kami mengerti bahasa dan budaya China dengan baik," ujarnya.

Memang, bahasa selama ini menjadi kendala perusahaan barat sulit berkembang di negara-negara Asia Timur. Nah, keunggulan mesin pencari Baidu yaitu kemampuan untuk membedakan nama-nama China yang terdiri dari dua huruf hingga tiga huruf. Sehingga, hasilnya lebih relevan daripada para rivalnya.

Dalam sebuah artikelnya, majalah Forbes menuliskan kesuksesan Baidu yang seakan menegaskan bahwa di dunia web yang tanpa batas, tuan rumah tetap akan lebih unggul.

Meskipun Baidu sudah menjadi nomor satu di China, tetap saja masih terdengar suara skeptis. Majalah Business Week pernah mengulas, cepat atau lambat Baidu akan rontok. Para analis skeptis ini membandingkan booming bisnis internet di Cina dengan gelembung dotcom di Amerika Serikat (AS) yang pecah tahun 2000.

Robin pun secara cepat menunjukkan perbedaan antara bisnis mesin pencari dengan gelembung dotcom di AS. Apalagi, perusahaan-perusahaan internet China yang terdaftar di Nasdaq bisa menghasilkan keuntungan. "Pasti ada orang yang memuji atau mengkritik, tapi saya benar-benar tak punya waktu untuk memikirkannya," tegas Robin.

(Bersambung)

Editor: Test Test