Romahurmuziy dan deretan ketua partai politik lain yang tersandung korupsi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy menjadi tersangka kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun Romahurmuziy bukanlah yang pertama karena ada empat mantan ketua parpol lain yang juga terbelit kasus korupsi.

KPK sendiri menyebut status tersangka diberikan kepada Romahurmuziy karena diduga menerima uang sebesar Rp 300 juta dari dua pejabat Kementerian Agama di Jawa Timur. Tak butuh waktu lama, PPP memberhentikannya dari posisi ketua per Sabtu (16/3) ini.

Menengok ke belakang, Romahurmuziy bukanlah ketua umum partai pertama yang ditangkap KPK. Ini lah daftar pendahulu pria yang akrab disapa Romy ini:

Anas Urbaningrum  Anas Urbaningrum menjadi ketua parpol pertama yang ditangkap KPK. Dia berurusan dengan lembaga anti rasuah dalam kasus korupsi proyek Hambalang. Ia dianggap menerima pemberian hadiah terkait proyek Hambalang saat masih menjadi anggota DPR. 

KPK menjerat Anas dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pengusutan kasus Hambalang berawal dari temuan KPK saat menggeledah kantor Grup Permai milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. 

Sebelumnya, jaksa KPK menuntut Anas dihukum 15 tahun penjara dan membayar sejumlah uang pengganti yang setara dengan nilai fee proyek yang dikerjakan Grup Permai. 

Setelah melewati berbagai proses, termasuk kasasi, Anas harus mendekam di penjara selama 14 tahun di Lapas Sukamiskin dan membayar denda serta uang pengganti.

Luthfi Hasan Ishaaq  Luthfi Hasan Ishaaq adalah mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera yang ditangkap KPK terkait kasus suap pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah dianggap terbukti menerima suap Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman.

Uang itu disebut bagian dari komitmen fee Rp 40 miliar yang dijanjikan kepada Luthfi melalui Fathanah. 

Dalam kasus tindak pidana korupsi, pemberian uang tersebut dilakukan agar Luthfi memengaruhi pejabat Kementerian Pertanian sehingga memberikan rekomendasi atas permintaan tambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 ton yang diajukan Indoguna dan anak usahanya.

Sempat mengajukan banding, tapi ia akhirnya tetap dihukum 16 tahun penjara di Lapas Sukamiskin. 

Suryadharma Ali  Seperti Romahurmuziy, Suryadharma Ali juga adalah mantan ketua PPP. KPK menjerat Suryadharma yang saat itu merupakan menteri agama sebagai tersangka kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama tahun anggaran 2012-2013. 

Dalam penyelenggaraan haji tersebut, Suryadharma menunjuk orang-orang tertentu yang tidak memenuhi persyaratan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji di Arab Saudi. Ia juga dianggap memanfaatkan sisa kuota haji nasional dengan tidak berdasarkan prinsip keadilan. 

Suryadharma juga mengakomodasi permintaan Komisi VIII DPR untuk memasukkan orang-orang tertentu supaya bisa naik haji gratis dan menjadi petugas panitia penyelenggara ibadah haji (PPIH) Arab Saudi. Tak sampai di situ, ia juga dianggap menggunakan dana operasional menteri (DOM) untuk kepentingan pribadinya. 

Atas perbuatannya, ia dijatuhi vonis 6 tahun penjara. Setelah mengajukan banding, hukumannya malah diperberat menjadi sepuluh tahun penjara. Seperti para koruptor lain, ia pun mendekam di Lapas Sukamiskin.

Setya Novanto  Setya Novanto menjadi mantan ketua parpol terakhir yang dijebloskan ke penjara. Mantan Ketua DPR ini dijerat dalam kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik alias e-KTP.

Novanto dianggap memperkaya diri sendiri sebanyak US$ 7,3 juta dollar dari proyek tersebut. Ia disebut mengintervensi proyek pengadaan pada tahun 2011-2013 bersama pengusaha Andi Agustinus. 

Setnov divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada April tahun 2018 lalu. Majelis hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana. Novanto pun menerima vonis tersebut. 

Menurut pengacaranya saat itu, Maqdir Ismail, ada beberapa alasan yang membuat Novanto tak mengajukan banding. Mulai dari merasa lelah dengan proses hukum yang dihadapi hingga keinginan merenung atas kasus yang membelitnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi