Konsep National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. GPN sendiri merupakan integrasi sistem pembayaran yang terdiri dari berbagai instrumen dan kanal. Dalam kurun waktu empat bulan terakhir, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan dua aturan terkait GPN. Pertama Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/8 Tahun 2017 tentang pengaturan ekosistem GPN dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/10 Tahun 2017 soal tarif transaksi. Semangat dari kedua aturan tersebut untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran di Indonesia dan pindah transaksi dari tunai ke elektronik. Secara objektif aturan tersebut masih memiliki banyak kekurangan sehingga konsep GPN harus di evaluasi ulang. Pertama, pemerintah melalui Kementerian BUMN mengklaim integrasi sistem GPN mampu menyelamatkan Rp 3 triliun devisa yang dianggap kabur ke luar negeri. Ini jelas terlalu berlebihan. Fakta, setiap transaksi elektronik, bank penerbit kartu dan bank penerima pembayaran saling berbagai keseluruhan fee atau interchange fee. Kenyataannya, bukan nilai uang yang dibawa perusahaan switching keluar negeri tapi cuma pencatatan data, itu yang sifatnya otorisasi. Kedua, di atas kertas aturan GPN memang terkesan pro terhadap kepentingan nasional. Namun GPN versi BI menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan berujung pada oligopoli beberapa perusahaan switching lokal. Persaingan tersebut tercermin dari aturan batasan modal pemain asing yang tidak konsisten. Dalam PBI No. 19/8 terdapat klausul bahwa perusahaan asing harus memiliki modal dalam negeri minimum 80%.
Rombak ulang gerbang pembayaran
Konsep National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) memunculkan perdebatan di tengah masyarakat. GPN sendiri merupakan integrasi sistem pembayaran yang terdiri dari berbagai instrumen dan kanal. Dalam kurun waktu empat bulan terakhir, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan dua aturan terkait GPN. Pertama Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/8 Tahun 2017 tentang pengaturan ekosistem GPN dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/10 Tahun 2017 soal tarif transaksi. Semangat dari kedua aturan tersebut untuk meningkatkan efisiensi sistem pembayaran di Indonesia dan pindah transaksi dari tunai ke elektronik. Secara objektif aturan tersebut masih memiliki banyak kekurangan sehingga konsep GPN harus di evaluasi ulang. Pertama, pemerintah melalui Kementerian BUMN mengklaim integrasi sistem GPN mampu menyelamatkan Rp 3 triliun devisa yang dianggap kabur ke luar negeri. Ini jelas terlalu berlebihan. Fakta, setiap transaksi elektronik, bank penerbit kartu dan bank penerima pembayaran saling berbagai keseluruhan fee atau interchange fee. Kenyataannya, bukan nilai uang yang dibawa perusahaan switching keluar negeri tapi cuma pencatatan data, itu yang sifatnya otorisasi. Kedua, di atas kertas aturan GPN memang terkesan pro terhadap kepentingan nasional. Namun GPN versi BI menciptakan persaingan usaha tidak sehat dan berujung pada oligopoli beberapa perusahaan switching lokal. Persaingan tersebut tercermin dari aturan batasan modal pemain asing yang tidak konsisten. Dalam PBI No. 19/8 terdapat klausul bahwa perusahaan asing harus memiliki modal dalam negeri minimum 80%.