Krisis ekonomi pada 1997 membuat Batik Wirokuto yang baru saja berdiri terombang-ambing. Karena peminat terus menurun Romi Oktabirawa selama empat tahun harus berkeliling Yogyakarta, Solo, dan kota-kota lain untuk menawarkan produk batiknya. Perjuangannya itu membawa hasil, bisnis Romi kini terus berkembang. Tak puas dengan menjadi karyawan di rumah busana milik perancang Prajudi, Romi Oktabirawa kemudian bertekad mengembangkan usaha batik sendiri. Pengalamannya selama empat tahun sebagai pembuat pola dan pemasok kain batik membuat Romi paham mengenai bisnis batik. Lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, ini kemudian memulai usaha pada 1996. "
Start from zero," kata Romi. Dia mengaku hanya mengantongi modal usaha sebesar Rp 6 juta. Dengan modal itu dia membuat bengkel kerja dengan tiga pembatik.
Namun, belum lama Batik Wirokuto berdiri, badai ekonomi menghantam pada 1997. Akibatnya, penjualan batik pun seret. Hingga tahun 2000-an, bisnis yang dijalani Romi bisa dibilang tak berdaya. Sepinya peminat membuatnya tak bisa mengembangkan usaha termasuk menambah jumlah karyawan. Tetapi, situasi ini tak membuat Romi berpangku tangan. Ayah dua orang putra ini lantas berkeliling Yogjakarta, Solo, Jakarta, hingga Bali untuk membuka pasar batik. Selama lebih kurang empat tahun, dia memasarkan batik produksinya dengan berkeliling dari satu kota ke kota lain. "Ini cukup efektif untuk memperkenalkan merek," katanya. Kerja kerasnya berbuah manis. Lambat laun Batik Wirokuto mulai dilirik dan dicari. Jumlah permintaan batik yang melejit membuatnya harus menambah jumlah produksi dengan mengangkat 100 pembatik tetap dan 300 pembatik borongan. Karena batik merupakan bisnis padat karya, menurut Romi, diperlukan kerja sama erat antara pengusaha dan perajin batik. Apalagi batik itu sebuah karya seni kolektif yang dibuat banyak orang. Interaksi yang baik dengan pembatik sendiri ataupun pembatik daerah lain, membuat Romi mampu menghasilkan banyak kreasi. Romi mengaku banyak melakukan inovasi dalam hal desain, corak maupun warna batik pekalongan. Inilah kemudian yang menjadi moto usahanya,
dare to be different atau berani untuk berbeda. Dengan motonya ini, Romi mulai membawa corak batik pekalongan yang lebih dinamis baik dalam pola maupun pewarnaan. Walaupun begitu, dia tetap berpegang pada pakem dalam seni membatik yang sudah berlangsung turun-temurun. Inilah yang membuat Batik Wirokuto dikenal mampu mengikuti tren dan selera pasar, dengan sentuhan inovatif dan atraktif. "Secara kultural masyarakat Pekalongan yang tinggal di pesisir merupakan pendobrak dari pakem-pakem yang biasanya didominasi oleh keraton. Inilah yang membuat batik pekalongan lebih berani dalam pewarnaan," jelasnya. Keberanian dan kreativitas sangat diperlukan dalam desain dan menorehkan canting serta malam di atas kain. Tak hanya itu, seni batik yang berkembang juga harus seimbang dengan keinginan pasar sehingga lebih komersial. "Saya mencoba menyeimbangkan antara seni batik dengan komersial," kilahnya. Perpaduan antara seni dan komersial inilah yang membuat Romi kini bisa mempekerjakan 400 pegawai dan pembatik. Dengan karyawan sebanyak itu, dalam satu bulan bengkel Batik Wirokuto mampu menghasilkan 4.000 potong batik cap dan 200 potong batik tulis. Dengan harga jual Rp 50.000 sampai Rp 1 juta untuk batik cap, dan Rp 150.000 sampai Rp 15 juta untuk batik tulis, Batik Wirokuto saat ini sudah beredar di seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Sejak pamor batik kembali bersinar belakangan ini, permintaan kain Batik Wirokuto terus meningkat. Karena itu, bagi Romi, saat seperti ini tidak ada waktu untuk bersantai. Semakin ketatnya persaingan antara produk lokal maupun impor mengharuskannya untuk tidak pernah berhenti berinovasi dan berkreasi.
Sayangnya, menurut Romi, meski batik merupakan kekayaan Tanah Air, sebagian besar bahan baku utama masih impor. Ia mengaku 70% bahan baku batik merupakan hasil impor seperti kapas, lilin, termasuk juga zat pewarna. Adapun bahan baku yang berasal dari dalam negeri hanya 30%, utamanya adalah tenaga pekerja dan desain batik itu sendiri. Dengan kondisi ini, harga batik akan sangat berfluktuasi mengikuti perkembangan harga bahan baku. (Bersambung) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi