Roos Mamahit, Sukses di Bisnis Restoran



roosmamahit_aprilia-ikaROOS Mamahit bukanlah seorang jago memasak. Keahliannya ada di bidang garmen. Tapi perempuan berdarah Batak ini justru sukses membesarkan usaha Restoran Payangka di ITC Kuningan, Jakarta. Upayanya membesarkan restoran Payangka hingga bisa mencetak omzet sekitar Rp 10 juta per hari, layak disimak. Bagi Anda penggemar masakan manado mungkin familiar dengan nama restoran Payangka. Restoran ini sudah sekitar empat tahun silam buka di jembatan penghubung lantai IV ITC Kuningan, Jakarta. Jika Anda mampir ke restoran ini pada jam makan siang, jangan kaget melihat panjangnya antrian pembeli. Jangan pula emosi lantaran  tak kebagian tempat duduk dan harus makan sambil berdiri. Maklumi saja. Sebab, restoran yang satu ini memang sangat diminati pengunjung ITC Kuningan. Orang rela antri untuk mencicipi bermacam aneka menu khas Manado di resto ini. Salah satu yang terkenal adalah Dabu-Dabu Roa ala Roos Mamahit. Roos Mamahit adalah nama sang pemilik resto tersebut. Di ranah kuliner dalam negeri, nama Roos memang belum setenar nama Bondan Winarno ataupun William Wongso. Bagi banyak orang, Roos hanyalah ibu rumah tangga biasa yang berjualan masakan manado. Apa lagi, perempuan kelahiran Brastagi, Sumatera Utara 61 tahun silam ini adalah salah satu dedengkot industri garmen nasional. Selama lebih dari 25 tahun hidupnya dia abdikan untuk membesarkan beberapa perusahaan garmen. Kini, nenek enam cucu ini sibuk berkutat di dapur untuk berjualan masakan manado. Walaupun mengaku tak hobi memasak, nyatanya masakan hasil olahannya digemari banyak orang. Lihat saja restorannya selalu ramai, dan dia bisa mencetak omzet rata-rata Rp 10 juta per hari. "Kalau bulan puasa, bisa lebih," ujar Roos yang jika dilihat sepintas mirip dengan Miranda Swaray Gultom, mantan Deputi Senior Gubernur BI. Roos bercerita, perjalanannya menapaki bisnis restoran masakan manado penuh lika-liku. Sebelumnya, dia melakoni dua profesi berbeda yang tidak ada hubungannya dengan dunia masakan. "Adalah kehendak Tuhan jika akhirnya saya eksis di bisnis ini," kata Roos merendah. Awalnya, anak kelima dari sembilan bersaudara asli Batak Karo ini menjadi guru keterampilan di sebuah sekolah kepandaian putri atau semacam Sekolah Menengah Kejuruan di Medan. "Waktu itu, saya mengajar keterampilan menjahit busana," ujar Roos. Tak berapa lama, Roos pun dipinang Jootje Mamahit. Pria asli Manado itu pun kemudian memboyongnya ke Jakarta. "Waktu itu, saya hidup cukup karena suami punya bisnis kontraktor di Jayapura," ujarnya. Walaupun hidup berkecukupan,  Roos tak ingin berpangku tangan. Dia pun mendirikan usaha jahit di rumahnya. Sampai 1979, usaha jahitnya berkembang besar dan punya banyak langganan. "Penghasilan dari jahit sangat lumayan waktu itu," kenangnya. Pada tahun 1980, Roos yang sudah berusia 32 tahun dan sudah punya tiga anak iseng melamar menjadi pekerja pabrik garmen Busana Raya. Di tempat inilah, titik balik kehidupan Roos. Dari seorang ibu rumah tangga biasa, ia menjelma menjadi seorang wanita karier yang biasa berurusan dengan pegawai, serta akrab dengan mesin-mesin garmen. Mendirikan perusahaan garmen Jauh sebelum memiliki bisnis restoran, Roos Mamahit adalah pegawai pabrik garmen. Ia sangat menyukai pekerjaan ini sehingga karirnya terus menanjak. Roos pun memutuskan mendirikan perusahaan garmen sendiri. Tapi, tahun 2004, bisnisnya terpukul produk impor asal China. Roos Mamahit tergolong perempuan beruntung. Mantan guru sekolah kepandaian putri di Medan ini langsung diterima begitu mendaftar sebagai pekerja pabrik garmen Buana Raya, anak perusahaan PT Djarum Kudus. Karena tergolong cerdas dan berani, ibu tiga anak ini mendapat kesempatan untuk training di Santa Ursula. Di tempat training ini, ia mempelajari cara produksi  garmen dan ia dipersiapkan untuk menduduki jabatan manajerial. "Pengajarnya semua dari Universitas Indonesia," ujarnya bangga. Tak hanya itu, di tempat kerja, ia mendapat bimbingan  langsung dari para ekspatriat asal Taiwan, Hong Kong dan Amerika. Tak heran jika pengetahuan Roos tentang garmen sangat luas. Namun, tahun 1983, Roos memilih keluar dari Buana Raya. Padahal posisi Roos saat itu sudah manajer produksi.  Roos malah mendaftar ke pabrik garmen Warewell di Tajung Priok. Di tempat ini, ia mengepalai pabrik selama  11 tahun sampai tahun 1994. Setelah itu, Roos pindah lagi ke perusahaan garmen Pacific yang waktu itu berada di Jalan danau Sunter Agung. "Oleh sang owner, saya diberi iming-iming fasilitas kontrakan rumah, mobil dan tunjangan pendidikan anak-anak saya," ujarnya senang. Waktu itu, Pacific hanya punya 150 mesin garmen saja. Tetapi selama delapan tahun kepemimpinan Roos, mesin garmen di pabrik tersebut bertambah menjadi 2.500. "Karena produksinya membesar, pabrik pun sampai pindah ke Gunung Putri, Cibinong," ujarnya. Tahun 2001, Roos tertantang untuk membuka pabrik garmen sendiri dan mundur dari Pacific. Bersama teman-temannya orang Malaysia dan Korea, Roos pun berkongsi membuka pabrik garmen di daerah Pondok Ungu. "Modalnya lumayan besar. Baunya sampai miliaran," ujar Roos. Pabrik garmen Roos membuat celana jeans untuk pasar Amerika dan Eropa. Selama tiga tahun pertama, Roos mengaku mendapatkan untung yang lumayan besar sebagai pemilik pabrik. Sayang, tahun 2004, industri garmen nasional terguncang gara-gara serbuan garmen murah dari China. "Sampai sekarang, industri garmen kita belum pulih," ujarnya. Suatu saat, ada teman Roos yang memberi tahu Roos mengenai bagaimana pabrik garmen di China bekerja sehingga bisa menghasilkan barang-barang yang murah. Ternyata kuncinya adalah pada para pekerjanya. Di China, upah pekerja rendah dan penggunaan waktu sangat efektif. Para pekerja sangat disiplin. "Di sana, satu mesin potong ditangani dua orang saja. Di Indonesia, satu mesin yang sama minimal ditangani enam orang," keluhnya. Faktor lain adalah produktivitas. Di China, satu mesin bisa memotong 30 lembar sekaligus, sedang di tempat kerjanya sekali potong hanya mampu 12 lembar saja. Karena itulah, biaya produksi di Indonesia sangat besar. Tapi, Roos tak bisa berbuatbanyak. Tahun 2004 merupakan masa sulit bagi usaha Roos karena harus berhadapan dengan produk murah dari China. "Setiap bulan, saya harus memakai tabungan saya untuk menomboki gaji pegawai yang jumlahnya 400 orang," keluhnya. Akhirnya, sang suami melarang Roos untuk meneruskan pabriknya tersebut. Roos pun mundur dan menyerahkan pengelolaannya ke mitra Koreanya. "Sampai sekarang masih berdiri, tapi kondisinya memprihatinkan," ujarnya. Banting setir ke bisnis makanan Terlempar dari sengitnya persaingan industri garmen tak membuat Roos berhenti berbisnis. Dengan sisa tenaganya yang sudah tak muda lagi, Roos banting setir ke bisnis makanan. Pilihan yang didukung sang suami ini mengantarnya jadi pebisnis restoran manado yang sukses. KEMATIAN usaha garmennya tidak menghentikan langkah Roos Mamahit. Naluri bisnis menuntunnya masuk ke bisnis lain, yaitu usaha makanan. "Saya sudah banyak memperhatikan dan bisnis makanan itu menjanjikan, kok," kata nenek 61 tahun ini. Kebetulan, Roos menemukan sebuah kafe yang memerlukan pengelola baru. Ia pun menyewa kafe tersebut selama dua tahun seharga Rp 40 juta. Di tempat itu, Roos memulai bisnis makanan. Awalnya, menu andalannya masih terbatas, yaitu mi kocok, nasi goreng, dan jus. Baru beberapa bulan berlangsung, Roos didepak sang pemilik rumah. Bahkan, uang sewa juga tidak dikembalikan. Jelas ia rugi. Namun, kemudian, Roos menemukan tempat baru di jembatan penghubung ITC Kuningan. Harga sewanya Rp 34 juta per tahun. Kali ini sang suami yang asli Manado memberi saran agar dia membuka restoran masakan Manado. Roos pun mengikuti saran sang suami. Maka, lahirlah restoran Payangka, tepatnya pada tahun 2005. "Nama Payangka diambil dari nama salah satu ikan di Danau Tondano," ujarnya. Roos sendiri mengaku tidak ahli masakan manado, karena ia sendiri kelahiran Medan. "Tapi, saya tahu menu-menunya," ucapnya. Menurutnya, masakan manado, ya, hanya itu-itu saja. Mulai dari menu sampai bumbu sudah baku. "Tinggal saya beri kreasi saya sebagai orang Batak Karo," ujarnya tertawa. Salah satu kreasinya adalah pisang goreng kipas dabu-dabu roa. Bahannya dari pisang tanduk pilihan, yang dibalut dengan tepung beras Rose Brand. "Susah sekali waktu itu menemukan tepung yang cocok," ujarnya. Nah, agar lebih berasa sebagai masakan manado, Roos kemudian membuat sambal khusus. Namanya sambal Roa yang bahannya  dari ikan asap khas Manado yang ditumbuk halus. Harga seporsi pisang dabu-dabu roa khas Roos hanya Rp 4.000 saja. "Kalau tambah cokelat atau keju jadi Rp 8.000," ujarnya. Karena rasanya yang unik, pisang kipas Roos laku keras. "Hari biasa bisa habis 400 pisang. Akhir pekan, karena banyak yang ke gereja, bisa habis sampai 700 pisang," ujarnya. Menu restorannya juga makin banyak. Selain pisang dabu-dabu roa, ada sekitar 20 masakan manado lainnya, antara lain ayam ganemo, sayur daun dan bunga pepaya, sayur ricaredo, sop brenebon, serta cakalang bumbu lada hitam yang rasanya mirip daging sapi. "Harga rata-rata menu Rp 25.000 sampai Rp 50.000," ujar Roos. Usaha ini rupanya lebih menguntungkan. Roos mengaku dapat meraup keuntungan hingga 30% ini.  Hanya memang, untuk memasak aneka menunya, Roos harus bangun dan memasak sejak pukul setengah enam pagi. Lalu agar pelanggan betah, Roos juga memberikan layanan tambah nasi gratis. Cara ini rupanya menarik pelanggan. Minimal 200 orang sudah menjadi pelanggan restorannya. Omzet per harinya pun mencapai Rp 10 jutaan. Maka kini ia kembali sukses. Hanya bidangnya rumah makan. Kini ia juga telah  merambah usaha  jual beli ponsel.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan