Royalti Batubara Diubah, Bagaimana Rekomendasi Saham Emiten Batubara?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah merilis beleid perlakuan perpajakan dan/atau penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di bidang usaha pertambangan batubara. Peraturan ini mengubah ketentuan royalti batubara.

Terdapat dua bagian penting dari Peraturan Pemerintah (PP) ini. Di bagian pertama, PP ini memberikan kejelasan mengenai bagaimana kewajiban pajak penghasilan bagi para pelaku pengusahaan pertambangan batubara dilaksanakan.

Berbagai pelaku tersebut adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), pemegang IUPK, pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian, dan pemegang PKP2B.


Kedua, pemerintah melakukan pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara dibandingkan sebelumnya sebagaimana amanat pasal 169A UU Minerba.

Baca Juga: Pelaku Usaha Hormati Keputusan Pemerintah Terkait Royalti Batubara

Hal ini dilakukan dengan cara mengatur besaran tarif PNBP produksi batubara secara progresif mengikuti kisaran besaran Harga Batubara Acuan (HBA).

Jika HBA kurang dari US$ 70 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 14% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.

Jika HBA sama dengan atau lebih besar US$ 70 per ton hingga kurang dari US$ 80 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 17% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.

Adapun, jika HBA sama dengan atau lebih besar dari US$ 80 per ton hingga di bawah US$ 90 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 23% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.

Selanjutnya, jika HBA sama dengan atau lebih besar dari US$ 90 per ton hingga di bawah US$ 100 per ton maka tarif yang dikenakan sebesar 25% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.

Sementara itu, jika HBA sama dengan atau lebih besar dari US$ 100 per ton maka tarif dikenakan sebesar 28% dikalikan harga jual dikurangi tarif iuran produksi atau royalti dikurangi tarif pemanfaatan barang milik negara eks PKP2B dari hasil produksi per ton.

Secara umum, Analis Panin Sekuritas Felix Darmawan menilai, beleid ini cenderung bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari IUPK batubara. Terbaru, HBA untuk April 2022 ada di level US$ 288,40 per ton. Jika dilakukan perhitungan dengan tarif progresif, maka akan dikenakan tarif untuk HBA US$ 100/ton yang sebesar tarif 28%.

Felix menilai, ini bisa menjadi sentimen negatif yang terbatas bagi emiten batubara secara umum. Karena kenaikan harga HBA juga berdampak pada kenaikan pembayaran pajak ke pemerintah.

Felix menyebut, sebenarnya jika memang benar ada tarif atas sebesar 28%, dampaknya bisa terasa minimal jika HBA bisa berada di level yang tinggi seperti bulan April 2022 ini atau bahkan kembali naik lagi di periode ke depan. Sebab, dengan HBA yang bisa naik lebih tinggi, tarif pajak akan tetap flat di level 28%.

Senada, Direktur Avere Investama sekaligus pengamat pasar modal Teguh Hidayat menilai, pengaturan kembali penerimaan pajak dan PNBP bagi IUPK masih terbilang wajar di tengah kenaikan harga batubara. Sebab, ketika HBA naik ke atas level US$ 100, tarif yang dikenakan bakal tetap sama.

“Tarif progresifnya mentok sampai (HBA) US$ 100 per ton, sedangkan HBA saat ini sudah jauh di atas US$ 100 per ton,” terang Teguh kepada Kontan.co.id, Minggu (17/4).

Hanya saja, Teguh menilai berita ini bisa saja berdampak negatif bagi saham-saham batubara. Ini bisa terjadi karena pelaku pasar tidak membaca/memperhatikan secara detail terkait aturan kenaikan pajak progresif batubara. “Kesimpangsiuran bisa berdampak negatif, terutama karena saham-saham batubara memang naiknya sudah tinggi jauh di atas saham sektor lainnya sebulan ini,” kata Teguh.

Senada, secara jangka pendek Felix menilai berita ini memang akan berdampak negatif bagi saham batubara, yang terlihat pada kenaikan cost (beban) dari pembayaran pajak. “Namun dengan tingginya HBA saat ini dibanding beberapa periode sebelumnya, emiten batubara masih tetap punya outlook yang positif,” kata Felix, Minggu (17/4).

Secara valuasi, Teguh menilai, saham-saham batubara kebanyakan belum tinggi. Masih banyak saham-saham yang harganya masih berada di bawah harga saat tahun 2018, yang mana kala itu harga batubara juga sedang tinggi-tingginya.

Dia mencontohkan saham PT Bukit Asam Tbk (PTBA) menyentuh level Rp 4.500 pada 2018 dengan laba bersih PTBA hanya Rp 5 triliun. Saat ini, harga saham PTBA masih di bawah Rp 4.500, tepatnya di level Rp 3.770, namun dengan laba bersih yang sudah melonjak hingga hampir Rp 8 triliun. Di sisi lain, harga batubara juga jauh di atas harga tahun 2018, tetapi harga sahamnya masih di bawah tahun 2018.

Investor bisa melakukan buy on weakness terhadap saham batubara. Sebab, dengan kemunculan berita ini biasanya kenaikan saham akan melandai untuk beberapa hari ke depan. “Sampai pada level tertentu berhenti turunnya baru kita bisa buy on weakness,” kata Teguh.

Baca Juga: Ketentuan Royalti Berubah, Begini Realisasi PNBP Minerba Lima Tahun Terakhir

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat