Rp 180,2 Triliun menguap akibat pembalakan liar



JAKARTA. Negara ditaksir kehilangan potensi pendapatan hingga Rp 180,2 triliun akibat kegiatan perkebunan dan tambang tanpa izin alias illegal logging di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Timur (Kaltim) sejak 1998. Temuan tersebut merupakan hasil investigasi Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.

Darori, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kemenhut mengatakan potensi kerugian yang paling besar terjadi Kalteng dengan kerugian sekitar Rp 158,5 triliun. Di Kalteng terdapat 282 perusahan perkebunan ilegal, dengan total luas lahan 3,8 juta hektare (ha). Sedangkan perusahaan pertambangan yang tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan berjumlah 629 perusahaan dengan luas lahan operasi 3,5 juta ha.

Akibat pembalakan liar di Kaltim, total kerugian negara ditaksir Rp 21,7 triliun. Di provinsi ini terdapat 42 perusahaan perkebunan ilegal dengan luas lahan 335.000 ha. Sedangkan perusahaan tambang ilegal berjumlah 181 dengan luas lahan mencapai 695.709 ha. "Namun di Kaltim ini masih ada lima kabupaten yang belum diinvestigasi, yaitu Bontang, Malinau, Samarinda, Balikpapan, dan Tarakan," katanya, Selasa (1/1).


Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menambahkan, instansinya sudah bekerjasama dengan Satgas Mafia Hukum sejak tahun 2010. Sejauh ini investigasi baru mereka lakukan di dua provinsi tersebut. Menyusul dalam waktu dekat di Kalimantan Barat, Riau dan provinsi lain.

Ketua Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Kuntoro Mangkusubroto menyatakan, kendati Kalteng menjadi provinsi percontohan untuk program reduksi emisi karbon dengan Norwegia, masih ada ratusan kawasan perkebunan dan areal pertambangan yang belum berizin. "Perlu ada langkah hukum," katanya.

Untuk itu, Satgas Anti mafia akan berkoordinasi dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tim ini akan menyelidiki keterlibatan mafia hukum dalam setiap pelanggaran perusahaan di Kalteng dan Kaltim. "Kami juga melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana kemana sehingga cukongnya juga bisa ditangkap," imbuh Kuntoro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can