KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kominfo tengah memiliki hajat besar yaitu membuat Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo mengenai Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Setelah beleid ini, akan diikuti dengan pencabutan 16 Peraturan Menteri eksisting. Meski uji publik RPM ini terkesan sangat singkat (8 Desember hingga 12 Desember 2017), bukan berarti draf embrio regulasi yang mengatur penyelenggaraan jasa telekomunikasi sepi dari protes. Salah satu lembaga yang menentang keras rancangan permen tersebut adalah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Jamalul Izza, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, mengatakan, pihaknya merasa keberatan dengan adanya RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Dalam Pasal 31 ayat 3 menyebutkan, penyelenggara jasa telekomunikasi yang menyelenggarakan layanan akses internet alias internet service provider (ISP) dilarang menyelenggarakan bisnis di luar cakupan wilayah layanannya. Menurut Jamal, anggota APJII rata-rata memiliki lisensi dengan cakupan nasional. Dengan memiliki cakupan nasional, para anggota APJII memiliki minimum komitmen pembangunan di lima kota dalam lima tahun. Dengan RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini keleluasaan anggota APJII semakin dibatasi. Anggota APJII tak bisa melayani permintaan masyarakat di luar komitmen pembangunan yang telah dibuat sebelumnya. “Padahal kita dituntutdapat melayani seluruh kebutuhan masyarakat akan internet. Presiden Jokowi sendiri bilang seharusnya birokrasi tidak mempersulit dunia usaha. Kenapa RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini justru mempersulit kita. Padahal anggota APJII membantu program pemerintah dalam penetrasi internet yang telah berjalan dengan baik,” terang Jamal, dalam pernyataan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (14/12).
RPM Jasa Telekomunikasi, liberalisasi gaya baru?
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Kominfo tengah memiliki hajat besar yaitu membuat Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Kominfo mengenai Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Setelah beleid ini, akan diikuti dengan pencabutan 16 Peraturan Menteri eksisting. Meski uji publik RPM ini terkesan sangat singkat (8 Desember hingga 12 Desember 2017), bukan berarti draf embrio regulasi yang mengatur penyelenggaraan jasa telekomunikasi sepi dari protes. Salah satu lembaga yang menentang keras rancangan permen tersebut adalah Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Jamalul Izza, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, mengatakan, pihaknya merasa keberatan dengan adanya RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Dalam Pasal 31 ayat 3 menyebutkan, penyelenggara jasa telekomunikasi yang menyelenggarakan layanan akses internet alias internet service provider (ISP) dilarang menyelenggarakan bisnis di luar cakupan wilayah layanannya. Menurut Jamal, anggota APJII rata-rata memiliki lisensi dengan cakupan nasional. Dengan memiliki cakupan nasional, para anggota APJII memiliki minimum komitmen pembangunan di lima kota dalam lima tahun. Dengan RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini keleluasaan anggota APJII semakin dibatasi. Anggota APJII tak bisa melayani permintaan masyarakat di luar komitmen pembangunan yang telah dibuat sebelumnya. “Padahal kita dituntutdapat melayani seluruh kebutuhan masyarakat akan internet. Presiden Jokowi sendiri bilang seharusnya birokrasi tidak mempersulit dunia usaha. Kenapa RPM Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi ini justru mempersulit kita. Padahal anggota APJII membantu program pemerintah dalam penetrasi internet yang telah berjalan dengan baik,” terang Jamal, dalam pernyataan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (14/12).