RPOJK Modal Minimum dan Pengelompokan Manajer Investasi Memaksa Konsolidasi Industri



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) terkait minimum modal dan pengelompokan Manajer Investasi (MI) bisa mencekik bisnis Manajer Investasi (MI) kecil. Konsolidasi menjadi opsi paling masuk akal agar MI kecil tetap bertahan di industri reksadana.

Untuk diketahui, Otoritas Jasa Keuangan tengah menggodok RPOJK tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Manajer Investasi. Dalam aturan tersebut di antaranya memuat pengelompokan dan minimum permodalan MI. RPOJK tersebut dikabarkan bakal berlaku pada Januari 2025.

OJK berencana membagi MI menjadi dua kelompok Manajer Investasi Kegiatan Usaha (MIKU), yakni MIKU 1 dan MIKU 2. MIKU 1 hanya dapat melakukan pengelolaan KPD, dan produk investasi alternatif, seperti RDPT, EBA, DIRE, DINFRA. Sedangkan, MIKU 2 dapat melakukan pengelolaan seluruh produk investasi.


Selain itu, baik MIKU 1 ataupun MIKU 2, wajib memiliki dan memelihara Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) paling sedikit Rp 20 miliar dari saat ini minimum sebesar Rp 200 juta. Modal disetor MI juga perlu ditingkatkan paling sedikit Rp 50 miliar untuk MIKU 1, sedangkan modal disetor MIKU 2 minimum Rp 100 miliar.

Baca Juga: Dana Kelolaan Reksadana Manajer Investasi Diyakini Masih Akan Menggemuk

Adapun dalam POJK No. 3 Tahun 2021 Pasal 41 ayat (4) yang menjadi basis ketentuan saat ini, OJK mensyaratkan perusahaan efek yang menjalankan kegiatan MI wajib memiliki modal disetor paling sedikit Rp 25 miliar.

Aturan mengenai minimum permodalan MI tersebut menuai kritik karena dapat membuat banyak MI berguguran. Sementara, pengelompokan MI menjadi MIKU 1 dan MIKU bakal membatasi ruang gerak MI, mengingat MIKU 1 hanya dapat melakukan pengelolaan KPD, dan produk investasi alternatif, seperti RDPT, EBA, DIRE, DINFRA.

Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Division Henan Putihrai Asset Management (HPAM), Reza Fahmi Riawan melihat, kenaikan modal minimum bagi MI bisa berdampak signifikan pada industri reksadana.

Misalnya, beberapa Manajer Investasi yang tidak mampu memenuhi persyaratan modal baru mungkin akan terpaksa keluar dari pasar atau mencari opsi merger untuk memenuhi persyaratan modal.

Baca Juga: 1 Prinsip Abadi yang Menjadikan Warren Buffett Tajir Melintir selama Beberapa Dekade

Bagi Manajer Investasi yang lebih kecil, aturan ini bisa menjadi tantangan besar. Mereka mungkin kesulitan untuk meningkatkan dana kelolaannya hingga batas minimal baru, yang bisa mengarah pada konsolidasi pasar.

‘’Kemungkinan besar akan terjadi peningkatan aktivitas merger dan akuisisi di antara MI untuk mencapai modal dasar yang diperlukan,’’ ucap Reza kepada Kontan.co.id, Jumat (29/11).

Sisi positifnya, Reza menilai, aturan modal minimum dan pengelompokan MI bisa memacu Manajer Investasi lebih agresif dalam menghimpun dana kelolaan dan meningkatkan efisiensi operasional. Dengan modal yang lebih besar, MI diharapkan dapat memberikan layanan yang lebih baik dan lebih stabil

Sementara itu, adanya pengelompokan MI menjadi MIKU 1 dan MIKU 2, dipandang bisa membuka peluang persaingan yang lebih sehat. Hal tersebut karena pengelompokan MI berdasarkan kapasitas modal dan kemampuan operasionalnya.

‘’Aturan ini mungkin akan membatasi MI dalam menerbitkan jenis reksadana tertentu, tergantung pada kategori MIKU mereka. Namun, ini juga bisa mendorong MI untuk lebih fokus dan spesialis dalam produk yang mereka tawarkan,’’ sebut Reza.

Baca Juga: Aturan Minimum Permodalan Sulit Dipenuhi Manajer Investasi Kecil

Sebagai solusi, Reza menyarankan penerapan aturan secara bertahap. Dengan begitu, MI bisa menyesuaikan diri dengan persyaratan minimum modal dan pengelompokan MI tersebut, tanpa terlalu banyak tekanan.

Regulator mungkin juga perlu memberikan dukungan dan insentif bagi MI yang berusaha memenuhi persyaratan baru. Solusi ini diharapkan bisa menjadi solusi yang baik untuk memastikan keberlanjutan dan pertumbuhan industri reksadana.

CEO PT Pinnacle Persada Investama (Pinnacle Investment) sependapat bahwa peningkatan modal MI mungkin akan mendorong konsolidasi pasar. MI yang belum mampu memenuhi persyaratan modal baru mungkin akan menghadapi kesulitan, dan beberapa di antaranya bisa saja keluar dari pasar atau terpaksa melakukan merger untuk mencapai modal yang ditetapkan.

Walau demikian, aturan baru modal minimum MI tersebut tidak selamanya negatif. Guntur menilai, RPOJK MI tersebut dapat mengurangi jumlah MI kecil atau kurang kuat secara finansial, yang bisa meningkatkan kualitas dan profesionalisme industri. Sedangkan, bagi MI dengan kemampuan finansial kuat, aturan ini sebagai kesempatan untuk memperkuat posisi di industri.

Baca Juga: Ini Rekomendasi Sektor dan Saham Pilihan Para Analis Jelang Window Dressing

‘’Menurut saya, RPOJK ini bisa memberikan dampak positif bagi industri reksadana. Dengan regulasi yang lebih ketat terkait permodalan, MI akan terdorong untuk memperbaiki dan memperbesar dana kelolaannya agar tetap bisa bersaing di pasar,’’ kata Guntur kepada Kontan.co.id, Jumat (29/11).

Guntur menambahkan, persaingan juga akan memacu MI untuk lebih fokus pada pengelolaan dana yang lebih besar, sehingga dapat memperbaiki kualitas produk dan layanannya. Namun, bagi sebagian MI, terutama yang masih dalam tahap pengembangan atau yang memiliki dana kelolaan terbatas, tentu akan menghadapi tantangan untuk memenuhi syarat permodalan yang lebih tinggi ini.

Pinnacle tengah mempersiapkan diri untuk memenuhi persyaratan RPOJK tersebut. Dengan modal yang ada saat ini diharapkan ada peningkatan modal juga yang cukup untuk memenuhi persyaratan.

Selanjutnya: Emiten Konsumer Tersengat Momentum Akhir Tahun, Cek Saham Rekomendasi Analis

Menarik Dibaca: Chandra Asri Pasific Kolaborasi dengan Rumah Atsiri dalam Circle of Beauty 3.0

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati