KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat perpajakan mendorong pemerintahan Prabowo Subianto mengurangi atau memangkas belanja perpajakan yang tidak tepat sasaran untuk menambah ruang fiskal pada tahun depan. Hal tersebut disampaikan oleh Pengamat Pajak sekaligus Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menanggapi tren belanja perpajakan pada tahun depan yang meningkat di tengah terbatasnya ruang fiskal. "Caranya adalah mengurangi fasilitas atau insentif pajak, mana yang sekiranya tidak tepat perlu dicabut," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Jumat (25/10).
Baca Juga: Daya Beli Lesu, Kadin Sarankan Belanja Perpajakan Untuk Sektor Ini di Tahun 2024 Hanya saja, langkah tersebut tidak akan mudah mengingat ada risiko politik. Menurutnya, pencabutan fasilitas insentif pajak kerap mendapatkan penolakan. Terlebih jika insentif atau fasilitas yang selama ini dinikmati secara luas seperti fasilitas pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN). "Perlu keberanian dan komitmen dari pemerintah serta pengelolaan kebijakan yang tepat untuk mengurangi dampak yang tidak diinginkan," katanya. Ada beberapa rekomendasi kebijakan insentif yang bisa dicabut oleh pemerintahan Prabowo. Misalnya saja insentif yang bukan best practice di negara lain hingga insentif pajak yang lebih dinikmati kelompok atas.
Baca Juga: DJP Mulai Tindaklanjuti Temuan BPK Masalah Kurang Setor Pajak Sementara, fasilitas insentif pajak yang perlu divealuasi pemerintahan Prabowo adalah pengurangan 50% tarif pajak penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak Badan (WP Badan) serta penurunan tarif PPh bagi Perseroan Terbuka. "Tapi sayangnya, untuk merevisi ketentuan tersebut harus merevisi aturan perpajakan. Selain itu, pengenaan PPh Final dapat dievaluasi," imbuh Fajry. "Untuk potensi, pos paling besar sebenarnya dari jenis pajak PPN terutama Pengusaha Kena Pajak (PKP) PPN dan fasilitas pembebasan. PKP PPN bisa diturunkan dari Rp 4,8 miliar," ujarFajry.
Baca Juga: Pajak Konsumsi Ditargetkan Capai Rp 945,1 Triliun pada Tahun 2025, Ini Kata Pengamat Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptoono menambahkan bahwa untuk tahun depan, insentif tidak terlepas dari pajak ditanggung pemerintah (DTP).
Adapun sektor transisi energi dan perumahan masih menjadi primadona mengingat efek dominonya yang cukup signifikan. "Kedua sektor tersebut memiliki multiplier effect bagi industri lainnya," kata Prianto. Untuk diketahui, pemerintah merencanakan belanja perpajakan pada 2025 sebesar Rp 445,5 triliun atau meningkat 11,4% dibandingkan rencana belanja perpakan pada tahun ini yang sebesar Rp 399,9 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto