KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren pelemahan rupiah masih mungkin terjadi untuk beberapa waktu ke depan, walaupun suku bunga acuan telah dinaikan dua kali oleh Bank Indonesia. Emiten-emiten yang bergerak di sektor konsumer pun perlu melakukan upaya antisipasi untuk meminimalisir dampak sentimen tersebut. Natalia Sutanto, Analis Danareksa Sekuritas mengatakan, potensi pelemahan rupiah memang masih cukup terbuka mengingat tekanan dari eksternal masih kuat. Peningkatan beban pengeluaran bagi emiten-emiten konsumer pun bisa saja terjadi ketika tren pelemahan rupiah berlangsung. Kendati begitu, ia menilai, emiten-emiten tersebut belum akan menaikkan harga produk-produknya dalam waktu dekat untuk mengantisipasi tekanan pengeluaran. “Mungkin kalau rupiah tak kunjung stabil hingga semester kedua, ada pertimbangan dari emiten untuk menaikkan harga,” ungkapnya, Kamis (31/5) lalu.
Analis Paramitra Alfa Sekuritas, William Siregar menyampaikan, adanya momen Libur Hari Raya Idul Fitri membuat permintaan terhadap produk konsumsi meningkat. Masyarakat pun cenderung menginginkan produk yang berharga murah pada saat momen tersebut berlangsung. Alhasil, opsi menaikan harga produk bukanlah pilihan yang tepat bagi emiten-emiten konsumer. Menurutnya, strategi efisiensi lebih cocok diterapkan oleh emiten-emiten konsumer terkait dengan kondisi terkini. Ia memberi contoh, jika suatu emiten memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor, emiten tersebut dapat membeli pasokan bahan baku impornya dalam jumlah besar lebih dini. Hal itu supaya dampak pelemahan kurs rupiah dalam jangka panjang dapat diminimalisir. Selain itu, emiten juga dapat menjadikan kondisi nilai tukar rupiah saat ini sebagai momentum untuk memperbesar porsi ekspor produk-produknya. “Biasanya emiten akan mendapat keuntungan yang optimal ketika mengekspor barang saat rupiah dalam posisi melemah,” kata William, Jumat (1/6). Sementara itu, Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital menilai, jika emiten konsumer ingin mempertahankan margin ketika kenaikan BI 7
Day Reverse Repo Rate tidak berdampak terhadap stabilitas rupiah, emiten tersebut mau tak mau mesti menaikkan harga jual produk-produknya. Sebaliknya, apabila emiten konsumer memilih untuk menurunkan margin, emiten tersebut harus berani untuk tidak menaikkan harga jual produk-produknya. Dia menambahkan, naik atau tidaknya harga jual produk dapat menjadi keputusan yang sulit diambil oleh tiap emiten konsumer. Hal ini mengingat persaingan di sektor tersebut tergolong ketat. Belum lagi, masyarakat cenderung loyal terhadap produk-produk konsumsi dengan
brand yang kuat. “Kebijakan harga dapat berpengaruh terhadap pangsa pasar emiten yang bersangkutan,” ujar Alfred, Kamis (31/5). Secara umum, Alfred menilai potensi pertumbuhan kinerja yang positif masih bisa dicapai oleh seluruh emiten di sektor konsumer, seperti
INDF,
ICBP,
MYOR, dan
UNVR, walau sifatnya moderat. Dalam hal ini, pertumbuhan kinerja tersebut sulit mencapai lebih dari satu digit.
Ia pun memfavoritkan MYOR pada tahun ini berkat kinerja apiknya sepanjang kuartal I-2018 lalu. Asal tahu saja, pendapatan MYOR meningkat 8,85% (yoy) pada kuartal I-2018 menjadi Rp 5,41 triliun. Laba bersih emiten ini juga melonjak 29,8% (yoy) menjadi Rp 468,71 miliar. William juga cenderung menyukai saham MYOR walaupun secara umum ia bersikap netral terhadap emiten-emiten di sektor konsumer. Sementara itu, Natalia menjagokan INDF dan ICBP pada tahun ini. Selain valuasi sahamnya sudah tergolong murah, kinerja kedua emiten tersebut masih dapat meningkat berkat branding produk yang kuat di bidangnya. Ia merekomendasikan beli saham INDF dan ICBP dengan target harga masing-masing Rp 8.000 dan 9.400 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati