Ruang pelonggaran moneter kembali terbuka



KONTAN.CO.ID - Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencatat deflasi sebesar 0,07% di bulan Agustus lalu memberikan peluang pelonggaran moneter untuk Bank Indonesia (BI) melalui pemangkasan suku bunga acuan (BI 7-Day reverse repo rate).

Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Winang Budoyo mengatakan, deflasi Agustus yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) di luar ekspektasi pihaknya dan ekspektasi pasar. Meski begitu, pihaknya tetap melihat peluang BI menurunkan suku bunganya sebesar 25 basis points (bps) tetap terbuka.

"Kami melihat tetap terbuka peluang BI untuk sekali lagi menurunkan suku bunga acuannya pada bulan September ini ke level 4,25% untuk kemudian dipertahankan sampai semester satu 2018," kata Winang, Jakarta, Senin (4/9).


Menurut Winang, hal itu dilakukan BI untuk bisa terus mendorong proses intermediasi perbankan, terutama dalam penyaluran kredit.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga melihat adanya peluang BI untuk kembali memangkas suku bunganya.

Menurut David, inflasi inti bulan Agustus yang turun menjadi 2,98% year on year (YoY), dari bulan sebelumnya sebesar 3,05% YoY, menunjukkan masih lemahanya permintaan secara agregat.

Di sisi lain, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga yang diatur pemerintah (administered prices) juga menurunkan ekspektasi inflasi ke depan. "Sehingga ada kemungkinan masih ada ruang pelonggaran moneter," kata David.

Meski demikian menurutnya, BI perlu mencermati perkembangan kondisi eksternal. Terutama, rencana penyusutan neraca Bank Sentral Amerika Serikat (AS), yang diikuti oleh pengetatan moneter Eropa.

"Ini bisa mengganggu volatilitas di pasar global. Walaupun sejauh ini prediksinya mereka gradual dalam pengetatan moneter," tambahnya.

Meski demikian, ia melihat diperlukan sinergi dengan kebijakan lain untuk mendongkrak permintaan, khususnya dari pengeluaran pemerintah yang masih menumpuk di semester kedua tahun ini.

Namun David juga melihat bahwa ekonomi ke depan tidak hanya bisa berharap banyak dari kebijakan fiskal, melainkan dari investasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto