Rubel Sentuh Titik Terendah, Kremlin Salahkan Kebijakan Moneter yang Longgar



KONTAN.CO.ID -  MOSKOW. Penasihat ekonomi Presiden Rusia, Vladimir Putin, menegur Bank Sentral negara itu pada hari Senin akibat pelemahan rubel yang menyentuh angka 101 per dolar AS. Kremlin menuding kebijakan moneter yang longgar sebagai penyebab meningkatnya ketegangan di antara otoritas moneter Rusia.

Sejak Putin mengerahkan pasukan ke Ukraina pada Februari 2022, rubel telah merosot sekitar seperempat nilainya terhadap dolar. Hal ini disebabkan oleh sanksi dari Barat yang mengakibatkan penyusutan neraca perdagangan Rusia dan meningkatnya pengeluaran militer.

Pada hari Senin, rubel mencapai 101,7475 per dolar AS, menjadi titik terendah dalam kurun waktu hampir 17 bulan dan telah turun 30% sepanjang tahun ini. Berdasarkan perhitungan cross rate, penurunan sepanjang tahun ini adalah 26,2%. 


Baca Juga: Di Luar Perkiraan Analis, Bank Sentral Rusia Kerek Suku Bunga Acuan Jadi 8,5%

Maxim Oreshkin, Penasihat Ekonomi Putin, menyatakan bahwa Bank Sentral bisa memastikan bahwa tingkat pinjaman menurun ke angka yang stabil dengan menerapkan suku bunga yang lebih tinggi.

Pinjaman konsumen yang meningkat, dipadukan dengan kekurangan tenaga kerja dan defisit anggaran yang signifikan, semuanya berkontribusi pada inflasi tahun ini.

"Kebijakan moneter yang lembek menjadi sumber utama dari pelemahan rubel dan percepatan inflasi," ujar Oreshkin dalam artikel pendapatnya untuk kantor berita TASS. "Bank Sentral memiliki segala sarana untuk memperbaiki situasi dalam waktu singkat."

Keputusan berikutnya mengenai suku bunga dari Bank of Russia dijadwalkan pada 15 September. Saat ditanya apakah akan ada kenaikan mendadak dari angka 8,5% saat ini, pihak bank memilih untuk tidak memberikan komentar.

Baca Juga: Dominasi Dollar AS di Pasar Global Semakin Menyusut

Oreshkin menekankan bahwa mata uang yang kuat adalah esensial bagi perekonomian. "Pelemahan rubel menghambat transformasi struktural ekonomi dan memberikan dampak negatif terhadap pendapatan riil masyarakat," ungkapnya.

Bank Sentral mengatributkan penurunan rubel pada penyusutan surplus neraca berjalan Rusia, yang mengalami penurunan sebesar 85% dari tahun ke tahun pada periode Januari hingga Juli. Pada hari yang sama, Bank menyatakan tidak melihat adanya risiko terhadap stabilitas keuangan akibat pelemahan rubel, namun tidak menampik kemungkinan kenaikan suku bunga dalam waktu dekat.

Suku bunga yang lebih tinggi akan mempersulit bagi para peminjam, termasuk perusahaan dan pemerintah, terutama dalam pembiayaan operasi militer di Ukraina.

Editor: Noverius Laoli