Rudal Korea Utara goyang pasar saham



KONTAN.CO.ID - Gesekan di Semenanjung Korea kembali menggoyang bursa saham regional, termasuk di Indonesia. Korea Utara kembali menguji coba rudal dan bom hidrogen. Efeknya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin terpangkas hampir 1% ke level 5.813,74. Koreksi juga dialami indeks KOSPI (Korea Selatan) Nikkei (Jepang), Hang Seng (Hong Kong), Taiex (Taiwan) dan Straits Times (Singapura).

Sejatinya, Indonesia di tahun ini tidak kekurangan sentimen positif. Dari dalam negeri, fundamental makro dinilai stabil dan menjadi katalis positif bagi penguatan IHSG. "Sentimen positif yang mendukung adalah paket kebijakan ekonomi jilid 1 hingga 16," ungkap analis Binaartha Parama Sekuritas, Muhammad Nafan Aji, Senin (4/9).

Bukan hanya itu, langkah Bank Indonesia memangkas bunga acuan menjadi 4,5% juga menjadi pendorong ekonomi. Sebelumnya, Standard & Poor's (S&P) mengerek peringkat utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade). "Bank Dunia juga memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,2% pada akhir 2017," kata Nafan.


Sederet sentimen positif tersebut membuat analis sebelumnya memprediksi IHSG akan menanjak. Otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) bahkan optimistis IHSG menembus 6.000 dan kapitalisasi pasar menyentuh Rp 6.500 triliun di akhir tahun ini.

Namun, ketegangan yang terjadi Semenanjung Korea berpengaruh negatif ke pasar modal. Apakah hal ini bisa berefek panjang? "Bila aktor internasional tidak menempuh resolusi damai melalui perundingan, konflik ini memberi ketidakpastian perkembangan ekonomi global," kata Nafan.

Dia mematok IHSG tahun ini secara bertahap menembus level 6.000, dan kemudian 6.085. Sebelumnya, pada awal tahun Binaartha pernah menargetkan IHSG menembus 5.900. "Level tersebut sudah tercapai," kata Nafan.

Jenuh beli

Bertoni Rio, Senior Analyst Research Division Anugrah Securindo Indah, juga menyatakan, sentimen Korea Utara memicu koreksi. Hal itu seiring kondisi pasar yang telah jenuh beli seusai mencetak rekor baru. "Sejak awal tahun, kami prediksi IHSG pada 2017 berpotensi ke 5.923. Jika lewat, IHSG akan naik 1,5% ke level 5.977. Saat ini belum ada revisi targetnya," kata Rio.

Menurut dia, rilis data perkembangan indeks harga konsumen Agustus yang deflasi 0,07% membuat pelaku pasar beranggapan daya beli masyarakat kian turun. "Pelaku pasar khawatir ekonomi Indonesia turun. Sebaiknya investor wait and see," kata Rio.

Di awal tahun ini, IHSG diperdagangkan 5.275. Bila dihitung sejak awal tahun ini, IHSG sudah naik sekitar 9,76%. Di periode yang sama, investor asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 384,02 miliar.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menambahkan, sejatinya PER IHSG saat ini sudah premium. Dia memprediksi level tertinggi IHSG di 6.000 untuk 2017. Hal itu ditunjang adanya ekspektasi kinerja kuartal III-2017 yang lebih bagus. "Tanda-tanda mulai membaik, ini kan impor meningkat dan ekonomi berjalan. Kalau GDP tidak drop, biasanya indeks saham bisa maintenance naik," kata Hans.

Dia menambahkan, level terendah IHSG di 5.750 dan 5.800. Area itu dinilai cukup murah. Sementara bila lewat 5.900, sudah cukup mahal. Hans tak mengubah target IHSG di level 6.000.

Dia menilai banyak investor di pasar saham yang menyikapi sentimen belakangan ini dengan keluar dari pasar saham. Mereka kemudian berpindah dan masuk ke pasar obligasi. Sehingga investor asing dinilai tidak benar-benar keluar dari Indonesia. "Karena risiko konflik meningkat, indeks yang mahal dan orang memutuskan switching ke bonds yang lebih menarik," kata dia.

Analis lain pun masih optimistis dengan target yang dipatok. Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menyebut, dengan skenario moderat, IHSG di akhir tahun ini bisa ditutup di 5.880. Dengan skenario optimistis, IHSG ditutup di 6.000.

"Tetapi melihat perkembangan saat ini, saya perkirakan di akhir 2017 nanti, IHSG lebih cenderung menuju skenario moderat di level 5.880. Faktor yang mempengaruhinya antara lain valuasi IHSG, net sell asing dan kondisi geopolitik," ungkap Edwin. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini