Rudy Salim: Jangan idealis, lakukan diversifikasi



Berawal dari pembiayaan mikro tahun 2006 lalu, kini bisnis itu beranak pinak hingga bisnis properti, makanan dan minuman, rumah produksi, dan bisnis mobil supercar.  Tak berhenti, pemilik bisnis itu kini sedang menjajal bisnis teknologi. Rudy Salim, Chief Executive Officer (CEO) Prestige Corp membeberkan rencana bisnisnya ke Jurnalis KONTAN, Asnil Bambani Amri.

Saya pertama kali bisnis micro finance bernama Excel Trade tahun 2006. Ini bisnis kredit handphone dan home appliance daring pertama saat itu. Saya pasarkan lewat Kaskus, yang saat itu menjadi komunitas daring terbesar di Indonesia. Kala itu, belum ada e-commerce, Instagram, Facebook, dan lainnya.

Belakangan kredit daring dikenal dengan teknologi finansial (tekfin), sementara saya sudah melakukannya jauh hari. Di bisnis ini, awalnya, saya fokus kredit BlackBerry yang banyak peminat. Modal Rp 300 juta, sebagai modal awal, terserap dalam seminggu.


Saya kemudian mencari investor. Rupanya, banyak yang tertarik karena bisnis saya efisien dan bermargin besar. Hasilnya, transaksi saya naik sampai Rp 3 miliar per bulan. Tiga bulan pertama, sempat ada kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL) 8%. Maklum kreditnya cukup pakai kartu keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Setelah kami evaluasi tiga bulan, kami bikin sistem sehingga bisa meminimalisir kredit macet menjadi 1,8%.

Bisnis Excel Trade mulai tertekan saat tren digital hadir, ecommerce datang, dan kompetitor marak di 2012. Saya diversifikasi bisnis dengan mengimpor dua unit Mercy dan satu unit Porsche untuk dijual. Tiga unit itulah cikal bakal bisnis supercar Prestige Image Motor yang kini memasarkan 37 supercar dari berbagai merek.

Bisnis supercar mencapai kejayaan di 2013, hingga berhadapan dengan pelemahan rupiah di tahun 2014. Saat itu, pajak penjualan barang mewah yang naik dari 75% jadi 125% membuat harga naik drastis dua kali lipat. Saya tak ambil pusing. Saya alihkan impor mobil listrik Tesla yang pajaknya kecil. Hasilnya, pendapatan kami stabil.

Diversifikasi saya lanjutkan dengan bisnis properti dan makanan. Saya sewa lahan di bandara Soekarno-Hatta seluas 1,5 hektare dan saya jadikan tempat kuliner Space Market yang saya sewakan lagi ke pemilik restoran Bebek Tepi Sawah, Mang Engking, dan lain-lain.

Di bisnis makanan, saya buka lima toko kue, kerjasama dengan Luna Maya. Saya punya prinsip, tidak mau menaruh telur di satu keranjang. Jika keranjang jatuh, maka semuanya bisa pecah. Makanya, saya sebar investasinya. Bisnis makanan saya yang lain adalah restoran Kastera, Geinshou, TAB Take a Bite, High Style Hotpot, Mango Bomb.

Dalam waktu dekat, saya juga akan menghadirkan restoran Wolfgang’s Steakhouse dari Amerika Serikat (AS). Satu lagi restoran Jepang yang akan saya akuisisi. Ini semua asal muasalnya dari micro finance.

Saya merasakan nikmatnya bisnis makanan, karena semua tunai, tak seperti bisnis saya yang lain. Beberapa tahun lalu, saya juga membuka rumah produksi RA Picture dengan Rafi Ahmad. Saat ini, kami produksi 12 film, tujuh sudah tayang.

Beda bisnis beda strategi

Setiap bisnis memiliki strategi yang berbeda. Memasarkan supercar berbeda memasarkan film atau makanan. Bisnis film cukup dengan menjual tiket plus dengan hadiah minyak goreng. Kalau supercar tak bisa, butuh personal approach. Contoh, saya jual supercar ke Ketua DPR Bambang Soesatyo, bukan staf yang melayani, tapi saya.

Tantangan lainnya adalah, bisnis supercar bisnis sulit, pajaknya besar, dan pasarnya terbatas. Selain personal approach, saya susun strategi lain yaitu unique selling proportion. Saya harus jual supercar pertama dan belum pernah ada di Indonesia. Sebelum impor, saya melakukan penjajakan dulu, agar setelah impor langsung ada peminatnya. Ternyata sukses! Jadi, setiap saya impor, langsung ada yang membeli tanpa inden. Ini yang membedakan kami dari pesaing.

Strategi bisnis supercar juga berbeda dengan bisnis mobil biasa yang bisa terjual ratusan unit. Penjualan supercar paling 20 unit per tahun, tapi harganya  Rp 8 miliar–Rp 90 miliar.

Dalam bisnis, saya bukanlah orang idealis harus bisnis supercar saja. Diversifikasi bisnis penting. Makanya, saya mempersiapkan beberapa bisnis baru, di antaranya dua bisnis digital. Pertama bernama Automo yang merupakan marketplace penyewaan untuk mobil, termasuk supercar, kapal, dan juga pesawat. Automo berbasis di Singapura tetapi sudah berkantor di Jakarta. Kedua adalah Sainmaco yang mengembangkan teknologi blockchain yang juga di Singapura. Saya telah investasi di kedua perusahaan itu tersebut.◆           

Gagal menjadi dokter lantaran putus kuliah

Besar dari keluarga dokter membuat sosok Rudy Salim, Chief Executive Officer (CEO) Prestige Corp, mendapatkan dorongan kuat untuk meraih pendidikan tinggi dari keluarganya. Bagaimana tidak, kedua orangtuanya berprofesi sebagai dokter yang tentu saja akan berharap Rudy bisa menggantikannya sebagai dokter atau setidaknya menempuh pendidikan tinggi.

Namun apa hendak dikata, Rudy tak bisa memenuhi keinginan kedua orangtuanya itu. Pria yang lahir di tahun 1987 itu terkena drop out (DO) alias dikeluarkan oleh kampus karena tak bisa memenuhi target mata kuliah yang dipersyaratkan. Alhasil, Rudy hanya sempat mengenyam kuliah sampai empat semester di jurusan Kedokteran Universitas Tarumanegara, Jakarta. “Karena DO, saya tidak diperbolehkan bertemu dengan orangtua,” kata Rudy.

Karena tak bisa meneruskan kuliah dan tak bisa bertemu kedua orangtuanya, Rudy memutuskan membuka usaha sendiri. Ia lantas menjual mobil yang dibekali orangtuanya seharga Rp 300 juta. Hasil penjualan mobil itulah yang ia jadikan modal untuk membuka bisnis pembiayaan mikro bernama Excel Trade, kredit pembelian handphone secara daring di Kaskus. Meski kini bisnis Excel Trade tak sebesar dulu, namun bisnis tersebut telah berkembang menjadi jaringan bisnis Prestige Corp lainnya, seperti properti, makanan dan minuman, restoran, hingga bisnis mobil super-mewah.

Kurang lebih ada enam bulan lamanya Rudy tak bisa ketemu orang tua paska putus kuliah. Hubungan dengan orangtuanya mulai membaik setelah bisnis pembiayaan mikronya berkembang. Saat itu, banyak media massa mengulas bisnis dan sosoknya. “Ada pasien orangtua saya membaca kisah sukses saya. Pesan itulah yang sampai ke orangtua saya, sehingga beliau kembali menerima saya,” kata pria yang identik dengan produk-produk super-mewah tersebut.

Meski hanya tamatan SMA, hal itu bukan halangan bagi Rudy mempelajari banyak hal. Ia bisa diajak berdiskusi soal pengetahuan tentang keuangan, perdagangan, pemasaran, otomotif, hingga bisnis digital. Baginya, belajar tidak harus duduk di bangku kuliah. Belajar bisa kapan pun dan di mana pun. “Semua kini bisa diakses dari gadget kita kok, tinggal telusuri dan baca,” kata pria yang memiliki beberapa koleksi jam mewah yang harganya mencapai Rp 4,5 miliar tersebut.

Hal lain yang menjadi catatan penting Rudy adalah, carilah bisnis yang memang sesuai bakat dan hobi. Nah, Rudy menggandrungi hobi otomotif sejak remaja. Karena hobi itu, ia bergaul dengan banyak kalangan yang juga hobi otomotif, terutama artis dan pejabat tinggi. Sembari menyalurkan hobi, ia melakukan pendekatan agar teman sejawatnya bisa membeli mobil mewahnya.◆

Rudy Salim Chief Executive Officer Prestige Corp                                                       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi