JAKARTA. Pemerintah perlu sungguh-sungguh menangani industri rumput laut agar Indonesia tidak terus-menerus harus mengekspornya dalam bentuk bahan baku. Minimnya stimulus kebijakan dari pemerintah menjadi kendala pengembangan industri hilir rumput laut di dalam negeri. Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia Safari Azis bilang, pemicu tingginya ekspor bahan baku itu karena negara importir memberlakukan bea masuk (BM) yang tinggi untuk olahan rumput laut. Contohnya China yang mengenakan BM 35%. "Sementara ekspor bahan baku ke China tidak dikenakan BM," terang Safari di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurut Safari, adanya tarif BM itu membuat produk olahan rumput laut tidak kompetitif di China yang berpenduduk 1,4 miliar tersebut. Maka, ia berharap, pemerintah segera turun tangan dan melakukan negosiasi dengan Pemerintah China. Tujuannya agar China menurunkan BM produk olahan rumput laut tersebut.
Proses negosiasi menurut Safari dimungkinkan dilakukan, karena Indonesia-China sudah memiliki kerangka kerjasama perdagangan. "Pemerintah semestinya mampu melobi China untuk menurunkan beban BM ini, apalagi sudah ada ACFTA (Asean China Free Trade Agreement)," ungkap Safari. Keluhan yang sama juga disampaikan Jana Tjahjana, Ketua Masyarakat Rumput Laut Indonesia (KMRLI). Ia bilang, dampak tingginya BM itu membuat industri pengolahan rumput laut dalam negeri tidak berkembang. Padahal, banyak produk olahan dari rumput laut yang berpotensi bisa ekspor ke China seperti makanan, alat kosmetik, bahan farmasi, hingga tekstil. "Bahkan, rumput laut bisa dimanfaatkan untuk pelumas mesin," keluh Jana. Karena ekspor produk olahan sulit, akhirnya ekspor rumput laut dominan berbentuk bahan baku saja. Setidaknya 85% produksi rumput laut ekspor dalam bentuk mentah tanpa diolah. Hanya sekitar 15% saja yang diolah di dalam negeri untuk kebutuhan pasar dalam negeri. Tragisnya, bahan baku yang di ekspor itu, diolah di luar negeri dan diekspor lagi ke Indonesia. Safari Azis bilang, hasil olahan rumput laut itu digunakan lagi di Indonesia untuk kebutuhan industri bahan makanan, tekstil dan juga industri farmasi. "Anehnya, Indonesia malah impor produk olahan rumput laut itu," ungkap Safari. Sebagai pelaku usaha, ia menyayangkan ekspor bahan baku itu karena hanya menguntungkan pengusaha di luar negeri. Betapa tidak, Indonesia menyuplai 290.000 ton/tahun atau sekitar 25% pasar rumput laut dunia. Negara yang paling banyak memanfaatkan bahan baku rumput laut dari Indonesia adalah China dan Filipina. Sebagian besar bahan baku rumput laut yang diimpor kedua negara tersebut adalah jenis
Carrageenophytes. Untuk jenis ini China membeli 115.132 ton dari kapasitas produksi 155.060 ton pertahun. Namun, selain masalah tersebut, pengusaha rumput laut juga mengeluh atas minimnya akses permodalan. Investor yang berminat investasi banyak yang mengurungkan niat, karena akses modal yang rumit dan suku bunga tinggi. Aziz bilang investor itu membutuhkan kepastian modal karena terkait dengan implementasi teknologi pengolahan rumput laut yang masih mahal. "Teknologinya itu yang mahal," kata Safari yang mengeluhkan keseriusan pemerintah dalam membuka akses teknologi bagi industri pengolahan rumput laut itu. Pembatasan ekspor Victor Nikijuluw, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bilang, negosiasi tarif BM dengan China bukanlah wilayah kementeriannya. Termasuk juga masalah permodalan yang dikeluhkan pengusaha. "Itu bukan wilayah kami," katanya.
Namun, Victor mengaku KKP sudah memiliki strategi pengembangan industri pengolahan rumput laut. Salah satunya adalah pembatasan ekspor rumput laut mentah bertahap mulai akhir 2011 atau di awal 2012. "Ini untuk stimulus industri pengolahan rumput laut dalam negeri," jawab Victor. Victor bilang, saat ini terdapat 7 proyek percontohan pengembangan industri pengolahan rumput laut di; Nusa tenggara Barat (NTB), Nusa tenggara Timur (NTT), Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Utara. Proyek percontohan itu menggandeng lima kementerian lain. Harapan Victor, dilokasi akan dibangun industri yang mengimplementasikan teknologi pengolahan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Beragam produk ditarget bisa diproduksi nantinya bisa diproduksi seperti aneka produk makanan, pakaian, kosmetik hingga bahan farmasi. "Kalau terealisasi dengan baik, kita tidak perlu lagi impor (produk dari rumput laut) dari China atau dari negara lainnya," imbuh Victor kepada KONTAN. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa