Rupiah 14.000, risiko investasi Indonesia melonjak



JAKARTA. Risiko berinvestasi di Indonesia mencapai level tertinggi dalam setahun terakhir. Hal ini dipicu oleh melemahnya kinerja mata uang Garuda hingga level Rp 14.000. Memburuknya iklim investasi di Indonesia tercermin pada angka credit default swap (CDS) 10 tahun Indonesia akhir pekan lalu (21/8) yang mencapai 318,76, level tertinggi sejak Maret 2014. Angka tersebut naik 2,01% dibandingkan hari sebelumnya. Ketimbang akhir tahun 2014, CDS 10 tahun Indonesia sudah naik 38,34%. Bahkan CDS 5 tahun Indonesia pada Senin (24/8) yang tercatat 256,797, level tertinggi sejak Oktober 2013. Dibandingkan posisi akhir pekan lalu, CDS 5 tahun Indonesia terbang 10,98%. Ketimbang akhir tahun 2014, angka tersebut sudah menanjak 60,18%. Semakin tinggi angka CDS, risiko investasi di sebuah kawasan semakin besar. Sebaliknya, semakin rendah angka CDS, maka risiko berinvestasi di area terkait kian mini. Analis obligasi BNI Securities I Made Adi Saputra menjelaskan, ada beberapa faktor yang memicu kenaikan CDS Indonesia. Pertama, melemahnya nilai tukar rupiah. Di pasar spot, Senin (24/8), nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) melemah 0,78% ketimbang akhir pekan lalu menjadi Rp 14.050. Devaluasi mata uang yuan oleh China pada Selasa (11/8) melemahkan mata uang negara-negara berkembang seperti Malaysia, Vietnam, hingga Indonesia. Kusamnya kinerja rupiah turut membuat investor asing khawatir. Sebab, saat mereka kembali mengkonversikan hasil transaksi mereka dari rupiah menjadi dollar Amerika Serikat (AS), porsi keuntungan yang seharusnya mereka dapatkan menyusut akibat mahalnya mata uang Negeri Paman Sam. Kedua, cadangan devisa dalam negeri per Juli 2015 turun 0,37% atawa sekitar US$ 400 juta ketimbang bulan sebelumnya menjadi US$ 107,6 miliar. Kemampuan BI untuk mengintervensi pelemahan rupiah menciut. Ketiga, pada Senin (24/8) Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) meluncur 3,97% menjadi 4.163,73. “Sentimen dalam negeri kurang baik. Pemerintah juga sedang gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Ada bahan-bahan bangunan dari luar jadi berpeluang menaikkan impor,” tuturnya. Meskipun untuk jangka panjang rencana tersebut dapat menstimulus perekonomian, dalam tempo pendek, aksi ini dapat menekan rupiah. Praska Putrantyo, Analis PT Infovesta Utama menjelaskan, perlambatan ekonomi Indonesia turut mendongkrak CDS. Per kuartal II 2015, pertumbuhan ekonomi dalam negeri tercatat 4,67%. Angka tersebut lebih rendah ketimbang pencapaian kuartal I 2015 yang berkisar 4,71%. Ekspor Juli 2015 Tanah Air juga turun 15,53% ketimbang bulan sebelumnya menjadi US$ 11,41 miliar. Permintaan dari negara tujuan ekspor Indonesia memang terkoreksi akibat perlambatan ekonomi dunia dan merosotnya harga komoditas.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Barratut Taqiyyah Rafie