Rupiah ambruk, biaya proyek bengkak



JAKARTA. Devaluasi mata uang yuan membuat khawatir pebisnis domestik, terutama sektor konstruksi. Sebab efeknya yang merontokkan mata uang rupiah bisa membuat eskalasi nilai proyek langsung jadi membengkak.

PT Wijaya Karya Tbk (WIKA)  termasuk yang was was. "Ini lampu kuning bagi Wijaya Karya kalau dollar sudah melebihi ekspansi kami dari angka Rp 13.500," kata Suradi, Sekretaris Perusahaan PT Wijaya Karya Tbk kepada KONTAN, Kamis (13/8).

Apalagi dengan kebijakan transaksi dalam rupiah membuat perusahaan ini tidak bisa melakukan natural hedging. Alhasil, Wijaya Karya sudah tidak bisa mengantongi pemasukan valas. Padahal masih ada  5%-10% komponen proyek estimator pengawas proyek (EPP) harus dibiayai dalam bentuk dollar.


Menurut Suradi, saat ini pemasukan perusahaan plat merah ini dalam bentuk dollar AS hanya tersisa dari kontrak lama proyek migas yang porsinya sekitar 40% saja dari total proyek WIKA. 

Beruntung, Wijaya Karya masih terselamatkan dari harga bahan baku yang sejauh ini belum terkerek naik. Ia memperkirakan dengan kondisi seperti ini para pemasok baru  mau mendongkrak harga satu bulan kemudian. "Harapannya pemerintah bisa mengerem laju kenaikan itu (rupiah) atau setidaknya ada bantuan," katanya penuh harap.

Lain halnya dengan PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP). Agus Samuel Kana, Sekretaris Korporasi PTPP, kondisi rupiah yang tengah jeblok ini sejatinya tidak terlalu berpengaruh untuk jenis-jenis proyek yang tengah dikerjakan.  Sebab, kata dia, dalam kontrak perjanjian pengerjaan proyek yang sudah diteken, terdapat opsi peninjauan kembali jika terjadi hal yang diluar kendalinya.

Salah satunya adalah lonjakan nilai kurs rupiah. "Kami ada kontrak strategic partnership yang telah berlaku dalam kurun waktu tertentu sesuai perjanjian kontrak,” ungkap Samuel kepada KONTAN (14/8).

Samuel bilang, dengan adanya perjanjian ini, meski kurs rupiah berada di jurang terdalam sejak krisis moneter, pihaknya bisa segera mengkaji persoalan ini secara bersama dengan mitra kerja, atau si pemilik proyek.

Nah, efek pelemahan mata uang Garuda ini baru punya dampak besar ke proyek-proyek baru atau proyek yang sudah habis masa kontraknya. "Bila kontrak sudah habis pasti akan ada lonjakan harga, dan ini juga bakal ada pembicaraan antara kedua belah pihak. Meski turun juga bakal dikaji kembali," tambahnya.

Sayang, Agus tidak merinci potensi kenaikan harga menyangkut proyek anyar yang bakal PTPP garap. Yang jelas, saat ini perusahaan ini tengah menggarap beberapa proyek infrastruktur.

Misalnya proyek pembangkit listrik tenaga batubara di Kalimantan Barat berkapasitas 2 x 200 megawatt (MW). Ada lagi dua pembangkit listrik tenaga gas dan uap di Arun, Aceh dan Pekanbaru, Riau dengan kapasitas masing-masing 2 x 100 MW. Serta proyek pembangkit listrik lagi di Gorontalo dengan kapasitas 2 x 200 MW.

Sementara itu dari sektor swasta PT Total Bangun Persada Tbk mengaku depresiasi rupiah saat ini masih belum berpengaruh bagi kondisi  perusahaan tersebut.

Mahmilan Sugiyo, Sekretaris Perusahaan PT Total Bangun Persada Tbk mengklaim bahwa sejumlah proyek yang perusahaan kerjakan masih berjalan seperi biasa dan belum ada indikasi atau tanda-tanda bakal tertunda akibat lonjakan kurs dollar AS terhadap rupiah.

Hingga kini, nilai kontrak diperoleh Total Bangun Persada dari mitra kerja masih belum berubah. "Kebetulan untuk material impor sebagian besar dipasok oleh pemberi kerja," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri