JAKARTA. Hingga pukul 19.30 tadi, nilai tukar rupiah masih terpuruk ke level terendah pada posisi Rp 9.615 per dolar Amerika Serikat (AS). Alhasil, hal tersebut juga berdampak pada anjloknya harga obligasi pemerintah atau Surat Utang Negara (SUN) yang menjadi
benchmark SUN.Harga SUN berjangka waktu tujuh tahun, misalnya, pada penutupan hari ini (7/10) anjlok ke level terendahnya di posisi 79,33 dengan yield 14,41%. Sementara harga FR 27 itu terjun tajam 16,7% dengan
yield sebesar 30,4%.Selain itu, SUN jangka menengah yang jatuh tempo tahun 2018 yaitu FR 38, harganya juga anjlok 21% ke level terendah di 84,25 dengan yield 14,66%.
Yieldnya juga naik 30,19% dari
yield terendahnya pada Rabu (6/8) lalu.
Sedangkan SUN jangka panjang, yaitu FR 47 yang berjangka waktu 20 tahun, harganya ikut anjlok dan bertengger di posisi 69,12 dengan
yield 14,89%. Itu artinya,
yield SUN yang jatuh tempo tahun 2028 ini sudah naik 26,6% dari posisi terendahnya pada 7 Agustus lalu, sementara harganya turun 25,27%. Para analis menilai, faktor utama anjloknya harga obligasi lebih disebabkan oleh kekhawatiran investor terhadap risiko yang cukup besar untuk berinvestasi di negara-negara berkembang. "Tingginya penilaian peluang risiko membuat para investor meminta imbal hasil yang besar untuk masuk dalam pasar obligasi kita," kata analis obligasi Handy Yunianto. Hal senada diungkapkan oleh Kepala Riset Recapital Securities Poltak Hotradero. Dia bilang, kondisi bursa kita yang tengah anjlok memang sangat mungkin membuat investor asing berlarian ke luar. "Dengan BI
rate 9,5% dan tingkat inflasi 12,14%, maka nilai suku bunganya minus ditambah
rating obligasi pemerintah yang
bond pemerintah
ratingnya di bawah
investment grade, hal itu membuat instrumen surat utang jadi tidak menarik," jelas Poltak. Sementara analis Obligasi Bank Danamon Helmi Arman menilai, penurunan harga SUN lebih disebabkan karena masalah likuiditas. "Kita lihat banyak pelaku pasar asing yang berusaha keluar dari pasar kita," kata Helmi. Akibatnya sedikit sekali pelaku pasar yang bertransaksi. Sedikitnya para pelaku pasar yang bertransaksi ini bukanlah hal yang mengherankan. Pasalnya, beberapa analis luar negeri menilai, kondisi pasar finansial Indonesia saat ini masih sangat labil. "Ini bukan saat yang tepat untuk masuk dalam pasar obligasi Indonesia," jelas Siddharth Mathur analis strategis fix income JP Morgan Singapura seperti dikutip
Bloomberg. Ia menambahkan dalam situasi seperti ini semua orang membutuhkan dana cash untuk menyelamatkan portofolionya. Optimis bisa pulih Meski demikian, Handy masih optimis ke depannya harga obligasi akan segera pulih. Apalagi inflasi memang sudah mencapai titik puncaknya. Selain itu, kondisi fundamental perekonomian Indonesia juga masih lebih baik dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya. “Apalagi dengan
yield yang menarik, investor domestik juga seharusnya bisa mulai berpartisipasi dalam obligasi pemerintah sekarang. Institusi besar yang punya kepentingan jangka panjang bisa membeli obligasi dan menahannya sampai jatuh tempo," papar Handy.
Baik Handy maupun Poltak berharap, ke depannya pemerintah dan Bank Indonesia harus berusaha keras untuk menjaga nilai tukar rupiah terus stabil. “Jika pemerintah bisa kembali menjaga rupiah di kisaran Rp 9.400 per dolar AS, maka investor asing akan melirik kembali pasar obligasi kita,” ungkap Handy. Handy pun optimis, adanya target pemerintah untuk tetap menjaga inflasi tahun depan pada level 6,5%, maka keputusan pemerintah memberlakukan kebijakan uang ketat serta mengerem pertumbuhan kredit akan menjaga rupiah tetap stabil. Sekadar tambahan informasi, Direktur Surat Berharga Negara Departemen Keuangan Bhimantara Widyajala mengatakan, per tanggal 6 Oktober, dana asing yang ada dalam SUN berjumlah Rp 105,45 triliun atau sekitar 19,47% dari SBN yang dapat diperdagangkan. Angka tersebut sudah turun 2,7% dari posisi tertingginya pada 5 September lalu yang berada pada level Rp 108,37 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie