JAKARTA. Sepanjang pekan lalu, investor global memelototi kebijakan moneter beberapa bank sentral. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed misalnya, menghentikan program stimulus (quantitative easing). Walhasil, dollar AS kian perkasa terhadap mayoritas mata uang, termasuk rupiah. Sebaliknya, Bank Sentral Jepang alias Bank of Japan (BoJ) bakal menggelontorkan stimulus sekitar ¥ 80 triliun tahun depan. Tujuannya agar nilai tukar yen melemah, sehingga bisa mengejar target inflasi. Fenomena ini kembali memanaskan perang mata uang alias currency war. Bagaimana posisi rupiah? Ekonom Standard Chartered Indonesia Eric Sugandi menilai, kebijakan BoJ akan memicu currency war di negara sekitar yang berhubungan langsung dengan Jepang, seperti Korea Selatan dan Taiwan. Indonesia juga bisa terkena imbas. "Kita makin murah mengimpor barang Jepang, sementara barang ekspor kita ke Jepang makin mahal. Ini potensi mempengaruhi demand," ujar Eric.
Rupiah berada di tengah perang mata uang
JAKARTA. Sepanjang pekan lalu, investor global memelototi kebijakan moneter beberapa bank sentral. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) alias The Fed misalnya, menghentikan program stimulus (quantitative easing). Walhasil, dollar AS kian perkasa terhadap mayoritas mata uang, termasuk rupiah. Sebaliknya, Bank Sentral Jepang alias Bank of Japan (BoJ) bakal menggelontorkan stimulus sekitar ¥ 80 triliun tahun depan. Tujuannya agar nilai tukar yen melemah, sehingga bisa mengejar target inflasi. Fenomena ini kembali memanaskan perang mata uang alias currency war. Bagaimana posisi rupiah? Ekonom Standard Chartered Indonesia Eric Sugandi menilai, kebijakan BoJ akan memicu currency war di negara sekitar yang berhubungan langsung dengan Jepang, seperti Korea Selatan dan Taiwan. Indonesia juga bisa terkena imbas. "Kita makin murah mengimpor barang Jepang, sementara barang ekspor kita ke Jepang makin mahal. Ini potensi mempengaruhi demand," ujar Eric.