KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mata uang Garuda masih berpotensi kembali ke bawah Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Data ekonomi Indonesia yang cukup baik dan ekspektasi pemangkasan suku bunga the Fed menjadi pendorongnya. Meski begitu, rupiah saat ini masih bergerak volatile di tengah penurunan indeks dolar (DXY). Berdasarkan data Trading Economics, sepekan terakhir DXY turun 0,94% ke 104,52 pada Rabu (15/5) pukul 20.00 WIB. Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana menyebutkan, volatilitas pada rupiah karena masih ada sentimen negatif terhadap fundamental rupiah. "Cadangan devisa yang turun, kekhawatiran current account deficit di kuartal I, dan masih terjadi net foreign sell di pasar saham menahan apresiasi rupiah lebih jauh," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (15/5).
Baca Juga: Rupiah Diprediksi Lanjut Menguat, Intip Proyeksi Untuk Kamis (16/5) Meski begitu, ia menilai rupiah masih berpotensi kembali menguat dengan trade surplus yang kembali berada di atas US$ 3 miliar. Lalu, suku bunga SUVBI yang sudah mampu bersaing dengan labour. "Harapannya akan membuat appetite investor terhadap Indonesia akan lebih baik dan dana asing bisa kembali masuk ke Indonesia," kata dia. Jika hal itu terjadi, Fikri menilai rupiah bisa kembali stabil dan diharapkan pada akhir semester I rupiah akan berada di kisaran Rp 15.800 per dolar AS-Rp 16.000 per dolar AS. Kemudian, penguatan rupiah juga akan berlanjut di semester II usai the Fed memangkas suku bunganya. "Jika begitu, maka rupiah bisa saja kembali ke Rp 15.500 per dolar AS di akhir tahun," kata Fikri. Baca Juga: Kurs Rupiah Ditutup Menguat 0,45% pada Rabu (15/5) Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi juga sepakat bahwa rupiah bisa berpotensi kembali ke bawah Rp 16.000. Ia menyebut, saat ini pasar berekspektasi inflasi inti Amerika di 3,4%.