KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah jatuh di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (4/10). Pelemahan rupiah bahkan berpotensi menembus level Rp 16.000 per dolar AS. Pengamat Mata Uang Lukman Leong melihat, pelemahan rupiah dan mata uang Asia lainnya terhadap dolar AS akibat sentimen
risk off yang menyelimuti pasar. Hal itu dipicu naiknya imbal hasil obligasi Amerika yang disebabkan kekhawatiran prospek suku bunga The Fed, setelah dana tenaga kerja Jolts lebih kuat. Alhasil, rupiah spot ditutup koreksi 0,34% ke Rp 15.634 per dolar AS pada perdagangan, Rabu (4/10). Ini menjadi penutupan rupiah spot terburuk sepanjang tahun 2023.
Sama halnya dengan pergerakan rupiah di pasar spot, rupiah Jisdor Bank Indonesia (BI) juga melemah ke level terburuknya di tahun ini. Rupiah Jisdor BI ditutup pada level Rp 15.636 per dolar AS, serta melemah 0,23% dibandingkan hari kemarin.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 15.634 Per Dolar AS, Terburuk Sepanjang 2023 Lukman memperkirakan rupiah masih akan tertekan laju dolar AS di perdagangan besok, Kamis (5/10). Di mana, investor kembali menantikan data penting AS malam ini yaitu ISM Service dan perubahan data tenaga kerja alias ADP Employement Change
. Rupiah bahkan berpotensi lebih dalam terperosok ke level terburuknya, hingga menembus Rp 16.000 per dolar AS di sisa tahun ini. Sentimen utama masih seputar tangguhnya dolar AS dan perlambatan ekonomi global terutama China. “Namun saya melihat Bank Indonesia akan berusaha intervensi agar menahan pelemahan rupiah tidak sampai di bawah level tersebut. Jika tidak ada intervensi, kemungkinan rupiah bakal tembus Rp 16.000 per dolar AS di pertemuan FOMC November,” kata Lukman kepada Kontan.co.id, Rabu (4/10). Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengamati, investor saat ini tengah mengantisipasi kebijakan moneter restriktif dalam jangka waktu yang lebih lama karena ketahanan ekonomi AS yang luas, sehingga semakin memperkuat posisi dolar AS di pasar mata uang global. “Hal tersebut dibarengi dengan pandangan
hawkish dari Federal Reserve dan imbal hasil US Treasury tertinggi dalam 16 tahun,” jelas Ibrahim dalam riset harian, Rabu (4/10). Ibrahim mengatakan, putaran baru inflasi, serta kekhawatiran kenaikan suku bunga telah mengangkat Dolar karena sejumlah pembuat kebijakan The Fed pada Selasa (3/10) mengisyaratkan kenaikan suku bunga lagi pada November atau Desember. Langkah itu dilakukan untuk menjaga inflasi tetap terkendali dan mendekati target bank sentral AS sebesar 2% dari posisi saat ini 3,7%. Meskipun inflasi telah menurun secara signifikan dari angka tertinggi dalam empat dekade terakhir, namun kenaikan harga minyak yang tidak terkendali menimbulkan kekhawatiran negara-negara non penghasil minyak yang merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia.
Baca Juga: Terburuk Sepanjang 2023, Rupiah Jisdor Melemah ke Rp 15.636 per Dolar AS di Hari Ini Dengan demikian, perekonomian diperkirakan kembali menghadapi beban berat di sisa tahun ini. Dari dalam negeri, Ibrahim melihat bahwa situasi pasar saat ini cenderung
wait and see dan menunggu kepastian dulu, menjelang tahun politik. Terlebih, masih ada dua bakal calon presiden (Bacapres) yang belum mengumumkan wakilnya untuk pilpres 2024. Sikap
wait and see ini berkaitan erat dengan kebijakan di masa depan. Pelaku pasar perlu mengetahui kebijakan seperti apa yang kira-kira terjadi di Indonesia ke depan dengan melihat bacapres ataupun memproyeksi siapa bacapres terkuat.
Editor: Tendi Mahadi