KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rupiah akan sulit menghadapi ketangguhan dolar Amerika Serikat (AS) di bawah komando Donald Trump.
Nilai tukar rupiah berpotensi tertekan hingga mencapai level Rp 16.400 per dolar AS pada tahun 2025. Research & Development Trijaya Pratama Futures Alwi Assegaf mengatakan, kondisi eksternal dari Amerika Serikat telah menjadi kekhawatiran pelaku pasar. Hal itu karena The Fed kemungkinan bakal memperlambat laju pemangkasan suku bunga di tahun 2025. The Fed diperkirakan tidak akan memangkas suku bunga sejumlah 100 basis poin (bps) di tahun depan seperti yang diproyeksikan sebelumnya. Skenario ini didasarkan pada antisipasi kebijakan Donald Trump yang dikenal pro pertumbuhan dan berpotensi mengerek inflasi, sehingga The Fed mungkin lebih hati-hati pangkas suku bunga.
‘’Dengan suku bunga The Fed yang masih relatif tinggi, kemungkinan aliran dana itu masih banyak yang mengalir ke Amerika Serikat,’’ ucap Alwi saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (18/12).
Baca Juga: Bank Indonesia Borong SBN dan Terbitkan SRBI untuk Stabilkan Rupiah Alwi melihat, inflasi AS juga masih membandel yang berada di level 2,7% per November 2024. Level tersebut masih di atas target The Fed 2%, sehingga kebijakan suku bunga tinggi untuk memerangi inflasi sangat mungkin terjadi. Berbeda dengan inflasi di kawasan zona euro sebesar 2,3% yang sudah mendekati target bank sentral eropa (ECB) di level 2% dan masih membuka peluang pemangkasan. Bank sentral Kanada dan Bank Sentral Swiss juga diperkirakan memangkas suku bunga lanjutan di luar perkiraan sekitar 50 bps. Alwi menjelaskan, suku bunga Fed yang bertahan tinggi dapat menyebabkan imbal hasil (yield) obligasi AS mengalami kenaikan. Ketika yield obligasi AS naik, maka imbal hasil obligasi yang ditawarkan
emerging market seperti Indonesia sudah tidak menarik lagi, yang berpotensi memicu arus keluar (outflow) dan pada akhirnya menekan rupiah. Bank Indonesia (BI) juga terlalu berisiko apabila terus menahan suku bunga di tengah kondisi ekonomi domestik yang melambat.
Oleh karena itu, kebijakan BI harus matang dan menyesuaikan arah moneter The Fed sebagai bank sentral terbesar. Baca Juga: Pelemahan Rupiah Hingga Kenaikan Pajak Kian Tekan Industri ‘’Jangan sampai
outflow terus berlanjut yang telah menyebabkan aset-aset dalam negeri, termasuk mata uang rupiah, kemudian bursa saham mengalami penurunan,’’ tutur Alwi. Alwi menilai, keputusan Bank Indonesia menahan suku bunga di level 6% hari ini, Rabu (18/12), pun sebetulnya lebih didasarkan antisipasi kebijakan Fed untuk jangka panjang. Sehingga, ditahannya suku bunga BI di saat Fed kemungkinan pangkas suku bunga 25 bps, tidak signifikan mendukung rupiah.
Menurut Alwi, pemangkasan suku bunga BI memang diperlukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. Namun besaran tingkat pemangkasan BI Rate harus mempertimbangkan langkah-langkah Fed. Secara fundamental, ekonomi domestik memang terjadi perlambatan yang tercermin dari tingkat inflasi terus rendah. Kemudian, cadangan devisa bulan November juga terkikis menjadi US$ 150,2 miliar karena ada pembayaran utang jangka pendek di akhir tahun.
Baca Juga: Ekspor Furnitur Indonesia Diuntungkan Pelemahan Rupiah Terhadap Dolar AS Di lain sisi, surplus neraca perdagangan meningkat sedikit menjadi kabar positif untuk ekonomi tanah air.
Bank Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan meningkat menjadi US$ 4,42 miliar per November 2024. Editor: Noverius Laoli