Rupiah buntung, utang menggunung (2)



Sebelumnya: Rupiah terus anjlok, pengusaha siap naikkan harga jual produk (1)

Mereka Murung Saat Rupiah Buntung

Perang dagang antara Amerika Serikat melawan China dan akan menyeret Uni Eropa, menjadi petaka seluruh pelosok negeri, tak terkecuali Indonesia. Meskipun AS belum resmi menabuh genderang perang dagang dengan Indonesia, sepak terjang Presiden AS Donald Trump sudah bikin susah pengusaha.

Kondisi perekonomian dunia saat ini seperti pepatah gajah bertarung melawan gajah, pelanduk mati di tengah. Bagaimana tidak, akibat ulah Trump dollar AS menguat tak terkira, dan sebaliknya rupiah terjungkal merana. Rupiah saat ini terus terpuruk di dasar Rp 14.000 sejak pertengahan Juni 2018.


Menguatnya dollar AS jelas merepotkan pengusaha yang punya kewajiban dollar AS. Maklum saat ini sebagian besar perusahaan Indonesia mengandalkan impor bahan baku dari luar yang musti dibayar pakai dolar. Tak hanya itu pendanaan untuk investasi maupun modal kerja sebagian juga berasal dari lembaga keuangan asing.

Tak ayal pengusaha musti menyiapkan dollar saban bulan untuk menutupi kewajiban. Nah sayangnya, sebagian besar penghasilan mereka, didapat dengan mata uang rupiah.

Dalam catatan Statistik Utang Publik di Bank Indonesia, tercatat total utang valuta asing atawa Valas perusahaan Badan Usaha milik Negara (BUMN) non lembaga keuangan per akhir Maret 2018 mencapai US$  27.717 juta atau setara dengan Rp 369,26 triliun dengan perhitungan kurs saat itu Rp 13.756/dollar AS.

Sementara posisi utang valas lembaga keuangan publik secara bruto mencapai pada periode yang sama mencapai  US$ 43.577 juta, setara Rp 554,79 triliun (kurs Rp 13.756).

Ya, utang valas korporasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang melonjak tajam (lihat Tabel). Salah satunya dari BUMN yang mendapatkan tugas pemerintah untuk membangun proyek infrastruktur.

Misalnya PT PLN yang mendapat beban merealisasikan janji proyek setrum 35.000 megawatt. PLN Dalam paparan manajemen PLN, per September 2017 lalu total utang valas PLN mencapai US$ 22,092  miliar atau 64% dari total utang mereka.

Sedangkan rupiahnya mencapai Rp 298,06 triliun. “Suka tidak suka, ini jadi beban buat kami karena sebagian pembayaran kami memakai dollar AS,” kata Sofyan Basir Direktur Utama PT PLN. Ia pun berharap gejolak nilai tukar ini tidak berlangsung lama.

Menurut Direktur Keuangan PLN, Sarwono Sudarto melemahnya rupiah membuat biaya pembelian atau impor komponen pembangkit listrik. Beruntung, beberapa waktu lalu PLN sudah melakukan lindung nilai senilai US$ 30 juta di tiga bank.

Selain PT PLN, perusahaan berbiaya dolar tapi mayoritas penghasilan dalam rupiah seperti PT Garuda Indonesia Tbk juga kelimpungan dengan kondisi ini. Helmi Imam Satriyono, Direktur Keuangan PT Garuda Indonesia Tbk menyebut, saat ini sekitar 75%–80% pendapatan Garuda dalam bentuk rupiah.

Padahal biaya operasional seperti pembelian bahan bakar avtur, pembelian suku cadang , perawatan pesawat dan ongkos-ongkos lain mayoritas menggunakan dolar. Selain biaya operasional Garuda juga memiliki kewajiban membayar cicilan maupun sewa pesawat kepada pihak lessor memakai dolar AS.

Jumlahnya sekitar 25% dari total beban operasional perusahaan bulanan. Mengutip laporan keuangan perusahaan pada akhir Maret 2018 posisi utang ke pihak lessor telah mencapai US$ 77,27 juta.

Hanya saja Helmi merasa Garuda masih beruntung lantaran telah menerapkan kebijakan lindung nilai atau hedging. Helmi menyebut porsi hedging valas Garuda sekitar 30% dari total kebutuhan dollar. “Ini cukup efektif,” terangnya.

Revisi nilai proyek

Perusahaan yang harus berurusan dengan valas lantaran butuh beberapa bahan baku impor untuk pekerjaan di proyek mereka adalah perusahaan konstruksi.

Sebagian dari mereka bakal kesulitan lantaran tak bisa serta merta langsung mengubah kontrak secara sepihak lantaran harga barang sudah berubah akibat rupiah loyo.

Menurut Direktur Keuangan PT PP Agus Purbianto, untuk proyek-proyek konstruksi yang sifatnya single year, biasanya kenaikan harga material yang sudah diantisipasi sekitar 2% hingga 3%. Artinya kalau ada lonjakan harga di atas 3% bisa jadi bakal menyebabkan berkurangnya keuntungan di satu proyek tersebut.

Namun, beda dengan proyek yang sifatnya multi years. Biasanya kontraktor dan pemilik proyek telah bersepakat untuk melakukan penyesuaian harga atawa price adjustment.

Nah pada saat itulah manajemen PTPP akan melakukan renegosiasi ulang agar tetap bisa menjaga margin yang mereka targetkan di proyek tersebut.

Dampak lain dari melemahnya rupiah adalah membengkaknya rasio utang perusahaan. Terutama perusahaan yang punya utang valas, tapi menyampaikan laporan keuangan dalam mata uang rupiah.

Agus Purbianto menyebut, di  PT PP saat ini porsi utang valasnya sangat kecil sehingga tak perlu memberikan perlakuan khusus seperti hedging. Menurut Agus, nilai utang valas sekitar US$ 3 juta, imbang dengan aset valas yang dimiliki PTPP yakni sebesar US$ 3,2 juta

Direktur Keuangan Waskita Karya Haris Gunawan juga menyatakan hal senada. Ia menyebut kewajiban valas emiten berkode saham WSKT di bursa efek Indonesia ini masih kurang dari 5%.

Kalaupun pelemahan rupiah terus berlanjut dan mempengaruhi harga bahan baku, kemungkinan WSKT baru akan merasakan dampaknya. “Untuk utang jangka pendek rata-rata kami roll over, jadi enggak besar,” terangnya.

Yang justru menjadi kekhawatiran pelaku usaha adalah dampak dari kebijakan yang diambil oleh otoritas moneter untuk meredam pelemahan rupiah yakni menaikkan suku bunga acuan. Seperti kita tahu, Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 1% dalam dua bulan terakhir, dari 4,25% menjadi 5,25%.

Pengusaha khawatir kondisi ini segera diikuti oleh perbankan nasional dengan menaikkan suku bunga pinjaman mereka. Padahal bisnis konstruksi sangat sensitif dengan kenaikan suku bunga kredit.

Maklum sebagian besar proyek yang digarap oleh perusahaan konstruksi adalah proyek properti seperti apartemen maupun perumahan. Nah, pengembang properti ini bisa jualan dengan lancar saat suku bunga kredit murah.

“Suku bunga tinggi itu yang berdampak pada kami,” ujar Agus. Karena itu PT PP merasa perlu untuk menata kembali aksi korporasi mereka.

Waskita Karya juga mengkhawatirkan hal yang sama. Sebab selama ini mereka banyak mengandalkan pinjaman bank untuk mendanai proyek. Untuk itu wajar bila perusahan pelat merah tersebut berharap keputusan Bank Sentral tidak akan mempengaruhi suku bunga kredit. “Kalau naik, kan fasilitas kredit kami cukup besar,” beber Haris.

Mengurangi utang

Menurut pengamatan ekonom Indef Bhima Yudhistira, dalam himpitan rupiah melemah, suku bunga naik, bahan material naik membuat banyak korporasi yang tidak banyak pilihan.

Mereka harus memperlambat pertumbuhan utang luar negeri. “Kamis (5/7) saya cek utang luar negeri swasta dari Januari sampai April berkurang US$ 1,1 miliar.  Jadi sudah terlihat tanda-tanda mereka mulai mengerem untuk mendapatkan utang yang baru,” katanya.

Untuk utang yang akan jatuh tempo, mau tidak mau mereka harus melakukan refinancing. Untuk spesifikasi utang luar negeri korporasi BUMN, dampak langsungnya pasti akan terasa pada cashflow. “BUMN Karya kan cashflow-nya cukup berdarah-darah. Bahkan ada yang negatif. Kondisi itu akan memburuk bahkan sampai 2019,” katanya.

Apalagi mereka sudah melakukan proyeknya setengah jalan, mau tidak  mau tidak akan mungkin distop. Karenanya, mereka harus menambah utang atau pinjaman baru.  

Sementara itu, sebagai antisipasi kenaikan suku bunga, PT PP akan segera melakukan penagihan-penagihan piutang mereka agar menjadi tunai.

Sementara Garuda Indonesia saat ini pilih menahan diri untuk menerbitkan utang baru. Garuda berencana menerbitkan surat utang berdenominasi dollar AS sebesar US$ 750 juta di bursa Singapura. “Kami masih wait and see,” kata Helmi.

Sedianya dana hasil penerbitan obligasi akan dipergunakan  untuk melunasi obligasi rupiah yang jatuh tempo tahun ini. Obligasi Berkelanjutan I Garuda Indonesia Tahap I Tahun 2013 yang diterbitkan 1 Juli 2013 dengan nilai Rp 2 triliun tercatat jatuh tempo pada 5 Juli 2018.

Kini Garuda mengutamakan pendanaan dalam negeri yaitu melalui penerbitan kontrak investasi kolektif (KIK) Efek Beragun Aset (EBA) . Nilai maksimal dana yang dibidik mencapai Rp 4 triliun. Sekarang masih proses book building oleh PT Mandiri Manajemen Investasi. “Mungkin awal pekan depan sudah selesai,” imbuhnya.

Senada dengan Garuda, Waskita Karya juga mengkaji ulang rencana penerbitan obligasi Rp 3,5 triliun pada semester II. Dana tersebut rencananya akan digunakan untuk merestrukturisasi utang. “Kalau pasar seperti ini, yield obligasinya kan masih tinggi,” kata Haris.          ◆

Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 9 Juli-15 Juli  2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: Mereka Murung Saat Rupiah Buntung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Mesti Sinaga