Rupiah dan Obligasi Indonesia Tertekan Era Bunga Tinggi The Fed Berlanjut di 2025



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Arah baru suku bunga Federal Reserve alias The Fed telah menciptakan ketidakpastian di tahun 2025. Berlanjutnya era suku bunga tinggi berpotensi membatasi arus masuk investasi ke Indonesia.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ketidakpastian di tahun 2025 berpotensi membatasi aliran investasi ke pasar keuangan tanah air. Terlebih lagi, adanya risiko pelemahan fundamental ekonomi dapat menyebabkan nilai tukar rupiah dan pasar surat utang domestik tertekan.

Josua menjelaskan, fokus pasar kini bergeser dari ekspektasi pemangkasan 25 bps ke antisipasi nada hawkish The Fed untuk tahun 2025. 


Baca Juga: Imbal Hasil Tertekan, Risiko Berinvestasi di Surat Utang Indonesia Meningkat

Seperti diketahui, The Fed mengumumkan penurunan FFR sebesar 25bps di bulan Desember sesuai perkiraan, menandai penurunan ketiga kalinya secara berturut-turut di tahun 2024.

Namun, The Fed merevisi proyeksi pemangkasan suku bunga FFR di tahun depan. Suku bunga yang diantisipasi dari 100 bps menjadi hanya 50 bps di tahun 2025. Selain itu, the Fed menaikkan proyeksi inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB) AS, serta menurunkan proyeksi pengangguran.

Dot plot yang diperbarui mengungkapkan bahwa para pembuat kebijakan saat ini memperkirakan hanya dua kali penurunan suku bunga pada tahun 2025, dengan total 50bps, penurunan yang signifikan dari 100bps yang diproyeksikan pada kuartal terakhir.

Josua melihat, kekhawatiran seputar kebijakan Trump juga sudah mulai masuk ke dalam proyeksi Federal Reserve. Pada awal Desember 2024, ketika agenda kebijakan Trump menjadi lebih jelas, risiko inflasi di AS menjadi lebih menonjol di pasar keuangan, sehingga memperkuat permintaan untuk Dolar AS.

Dolar AS telah menunjukkan tren kenaikan terhadap mata uang global, terutama didorong oleh sinyal dovish dari berbagai bank sentral di seluruh dunia. Di Zona Euro, Bank Sentral Eropa (ECB) menurunkan suku bunga acuan sebesar 25bps, dari 3,40% menjadi 3,15%, pada pertemuan tanggal 24 Desember.

ECB juga mengisyaratkan sikap dovish yang diperpanjang hingga tahun 2025. Sementara itu, di Inggris, Bank of England (BoE) mempertahankan suku bunga kebijakannya pada level 4,75%, menandakan pendekatan yang hati-hati untuk tahun 2025.

Tone hawkish The Fed tersebut mendorong permintaan terhadap Dolar AS, sehingga menyebabkan Indeks Dolar AS sempat melonjak di atas 108,0. 

Baca Juga: Bank Dunia Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi China untuk Tahun 2024-2025

Potensi Fed yang tidak akan buru-buru untuk menurunkan suku bunganya di tahun depan juga memicu aksi jual yang signifikan di pasar obligasi dan ekuitas AS.

"Mengingat revisi naik proyeksi makroekonomi The Fed bersamaan dengan penyesuaian ke bawah dalam proyeksi penurunan suku bunga acuan, laju penurunan suku bunga diperkirakan akan lebih lama dari yang diantisipasi sebelumnya," ungkap Josua kepada Kontan.co.id, belum lama ini.

Josua menuturkan, Bank Permata mempertahankan proyeksi saat ini bahwa The Fed akan menurunkan FFR sebesar 50bps di tahun 2025, dari 4,50% di tahun 2024 menjadi 4,00% di tahun 2025. Hal itu mengingat adanya kekhawatiran mengenai sikap higher for longer oleh bank sentral AS.

Gubernur The Fed Jerome Powell sebelumnya menekankan bahwa penurunan suku bunga lebih lanjut akan bergantung pada kemajuan yang jelas dalam mengendalikan inflasi pada tahun 2025. Dia juga menyoroti bahwa FOMC telah mulai memperhitungkan potensi kebijakan baru ke dalam proyeksinya.

Sikap hawkish Fed mendorong sentimen pasar terhadap prospek kebijakan higher-for-longer, dengan ekspektasi untuk mempertahankan suku bunga pada Januari 2025 menguat menjadi sekitar 90%. Selain itu, pasar saat ini memperkirakan the Fed akan melakukan satu kali penurunan FFR sebesar 25bps di bulan Juni 2025, yang mencerminkan pandangan yang lebih hawkish terhadap kebijakan moneter the Fed.

Menurut Josua, ketidakpastian yang muncul di tahun 2025, ditambah dengan pendekatan kebijakan moneter The Fed yang berhati-hati, diperkirakan akan mengurangi daya tarik aset portofolio Indonesia. Kondisi ini berpotensi membatasi arus masuk modal, baik dari investasi langsung maupun portofolio.

Baca Juga: China Berencana Menerbitkan Obligasi Khusus US$411 Miliar, Tertinggi dalam Sejarah

"Permintaan yang lebih lemah di sektor keuangan, dikombinasikan dengan kemungkinan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan di tengah risiko perlambatan global, diantisipasi akan memberikan tekanan tambahan pada rupiah," jelas Josua.

Oleh karena itu, Bank Permata telah merevisi proyeksi pergerakan nilai tukar Rupiah untuk tahun 2024 menjadi Rp 15.900-Rp 16.200 per dolar AS dari sebelumnya Rp15.600 - Rp 16.000 per dolar AS. Kemudian, rupiah di tahun 2025 diproyeksi menjadi Rp 15.600 – Rp 16.000 per dolar AS dari Rp 15.400 – Rp 15.800 per dolar AS.

Sehubungan dengan arah kebijakan suku bunga teranyar, perkiraan imbal hasil SBN tenor 10 tahun juga telah disesuaikan. Bank Permata menaikkan estimasi dari sekitar 6,66% pada tahun 2024 dan 6,45% pada tahun 2025 menjadi kisaran 6,95 - 7,15% untuk tahun 2024 dan 6,75 - 7,05% untuk tahun 2025.

Josua memandang, di tengah strategi penurunan suku bunga The Fed secara bertahap, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mengadopsi pendekatan pelonggaran moneter yang terukur sepanjang tahun 2025. BI kemungkinan akan menurunkan BI-rate dengan laju yang lebih lambat untuk menstabilkan Rupiah dalam menghadapi volatilitas pasar yang meningkat di bawah pemerintahan AS.

Bank Permata masih mempertahankan proyeksi BI akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25bps. Hal ini akan membuat BI-rate berada di level 5,75% pada akhir 2025. 

Selanjutnya: Harga Pangan di Bali, Kamis (26/12) Harga Minyak Goreng Curah Naik

Menarik Dibaca: Promo Guardian Super Hemat s/d 8 Januari 2025, Tambah Rp 1.000 Dapat 2 Body Scrub

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi