Rupiah dari mengotak-atik potret wajah



Mungkin Anda pernah melihat foto wajah orang terkenal dalam spanduk, poster, atau kover album, yang disusun  dari potongan-potongan warna bervariasi dan artistik. Foto tersebut tampil unik dan berbeda dari gambar atau foto biasa. Inilah hasil dari seni pop art yang mulai digandrungi di Indonesia belakangan ini.

Berbeda dengan teknik digital printing biasa, pengerjaan pop art kental unsur desainnya. Pop art mengilustrasikan potret manusia menggunakan garis-garis yang tegas dipadu dengan permainan warna yang semarak.

Selanjutnya, seperti pada gambar biasa, hasil ilustrasi tersebut bisa dituangkan pada berbagai media, seperti tembok, kanvas, kaus, mug, atau pin. Sejatinya, seni pop art sudah dikenal sejak medio 1950-an di Inggris.


Nah, seni ilustrasi ini mulai masuk ke Indonesia pada 1990. Adalah sosok Wedha Abdul Rasyid yang serius mengembangkan seni ini, bersama komunitas Wedha's Pop Art Portrait (WAPP) yang dibentuknya di Jakarta. Pakem yang diusung WAPP yakni ilustrasi tidak menggunakan lengkung, melainkan garis yang tegas, dan pengaturan komposisi warna sekunder dan tersier.

Meski sudah berkembang beberapa tahun terakhir, namun belum banyak yang tahu bahwa seni pop art ini bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Salah satu yang berhasil mendatangkan fulus dari seni pop art adalah Indira Yuniarti. Mahasiswi PDC Telkom, Bandung, ini memberanikan diri membuka d'GreeNomad Art sejak setahun lalu.

Dia menawarkan jasa pembuatan poster kartun vektor dan pop art. Kemampuannya membuat pop art terasah lantaran sejak kelas 3 SMU sudah bergabung dalam komunitas WAPP. Dia pun sudah mengantongi sertifikat dari WPAP Community, komunitas tempat berkumpulnya para seniman pop art.

Namun, lantaran masih sambil kuliah, omzet bisnisnya belum besar. “Semua pesanan saya kumpulkan dulu, dan dikerjakan pada akhir pekan,” ujar Indira.

Biasanya, pelanggan yang berminat cukup mengirimkan potret wajah yang diinginkan. Pemesan bisa memilih untuk memesan versi hard copy atau soft copy. Versi soft copy dihargai Rp 50.000 per wajah. Sedangkan jika menginginkan versi hard copy, Indira akan menambahkan ongkos cetak dan kirim yang besarnya bervariasi tergantung dari ukuran dan lokasi.

Dia mengaku, dalam seminggu, bisa mendapat sekitar 9-10 pesanan. Dalam sebulan omzetnya sekitar Rp 2 juta. "Lumayan, ini bisnis sambilan. Ke depan, saya akan serius menggeluti usaha ini," ungkapnya.

Pasalnya, dia melihat peluang bisnis pop art ke depan berpotensi besar. Sekarang ini, karya seni Wedha's Pop Art Portrait  banyak diminati anak-anak muda. "Belum lagi semakin banyak promosi dan event yang butuh jasa pop art. Misalnya, Maret ini, ada event Kampung Jazz Universitas Padjadjaran, di mana WPAP Community yang membuat desain official t-shirt acara itu," ujar Indira.

Memang, saat ini, media yang digunakan Indira masih terbatas pada kertas dan digital, namun dia optimistis, ke depan bisa berkembang seperti halnya WPAP Community. Asal tahu saja, hasil ilustrasi pop art yang dibuat di WPAP sudah bisa dicetak dalam beragam media, mulai dari kanvas hingga berbagai suenir atau  merchandise seperti kaus, gelas, dan pin.

Sekarang, Indira rajin berpromosi melalui jejaring sosial seperti blog, Twitter, dan Facebook. "Pelanggan saya masih dari sekitar Jakarta, Bandung, dan Jogja,” imbuhnya.

Pemain lain di bisnis pop art adalah Ageng Raditya di Tangerang, Banten. Lulusan komunikasi visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini sudah menggeluti bisnis pop art sejak tiga tahun silam. “Sebenarnya dari 2006 saya sudah terjun di bisnis ilustrasi, tapi baru di 2010 fokus pada gaya ilustrasi pop art,” katanya.

Menurutnya, pop art cenderung menggunakan warna-warna solid dan berkilau, sehingga hasilnya memikat orang. Inilah yang membedakan pop art dari gambar ilustrasi biasa.

Ageng biasanya akan meminta foto calon klien. Dari potret asli itu kemudian dia membuat dimensi-dimensi gambar. Bentuk wajah, seperti letak mata, hidung, dan bagian muka yang lain akan tampak melalui dimensi ini. Lalu, dia membuat colour ambience atau nuansa warna seperti keinginan pelanggan.

Semua dikerjakan dengan menggunakan grafik tablet Wacom yang dikombinasikan dengan Photoshop. Dalam sebulan, Ageng mengaku, bisa mengerjakan 10 pop art yang dituangkan dalam beragam media, namun mayoritas di kanvas. Dia juga kerap membuat pop art dari figur publik, seperti Jokowi, sebagai stok.

Dia mematok tarif Rp 300.000 untuk satu desain pop art yang bisa dicetak di kanvas berukuran A3. Biasanya, klien Ageng minta pop art sekaligus dibingkai. Jadi, untuk tiap karyanya, dia membanderol Rp 500.000. Omzetnya bisa mencapai Rp 5 juta dalam sebulan.

Ageng memasarkan karya-karyanya melalui internet. Kadang, dia mengikuti pameran seni. Dari situ, pesanan pop art lantas meningkat dan namanya kian dikenal. Kini, pelanggannya tersebar dari berbagai wilayah, seperti Jakarta, Surabaya, hingga Aceh.

Pemain lain, Joko Hartono terpikat menggeluti bisnis pop art lantaran diperkenalkan oleh teman seniman asal Singapura yang berkunjung ke Bali. Makanya, sejak 2010, pria lulusan ilmu desainer di Teknologi Informasi STIKOM Surabaya ini memutuskan menjadi perwakilan Personal Art di Indonesia.

Sekadar catatan, Personal Art adalah perusahaan yang menggeluti seni pop art dengan markas utamanya di Singapura. Menurut Joko, gaya pop art yang diusung Personal Art terinspirasi langsung dari seniman pop art Amerika Serikat era 1960-an, Andy Warhol. “Namun setelah membuka pasar di Indonesia, Pak Wedha juga menjadi salah satu inspirasi kami dalam berkarya,” ujarnya.

Sayang, dia bilang, karena pop art baru berkembang di Indonesia, sehingga peminatnya belum sebesar di negara lain seperti Singapura dan negara-negara Eropa. Joko mengaku, paling banyak dia bisa meraup omzet Rp 4 juta sebulan. Itu juga saat ada momen spesial, seperti hari raya dan Valentine.

“Rata-rata yang pesan pop art, karena mau memberi kado. Pop Art itu unik, wajah orang 100% bisa tampil beda, tanpa meninggalkan raut aslinya. Jadi, cocok sebagai hadiah spesial,” ungkapnya.Lantaran pesanan dari dalam negeri masih sepi, keempat karyawan Joko kerap mengerjakan pesanan dari cabang Personal Art di negara lain.

Joko memasang tarif yang berbeda untuk setiap jasa yang dikerjakan, sesuai dengan media output. Yang termurah, yaitu poster berukuran 20 cm x 20 cm dibanderol Rp 98.000. Adapun yang termahal di medium kanvas ukuran 12 cm x 160 cm dengan tarif Rp 435.000.

Selain lebih gencar berpromosi, Joko juga berencana menambah pilihan gaya pop art supaya lebih menarik pelanggan. Dia akan membuat pop art yang mengusung teknik vektor. Dengan teknik ini, foto akan lebih presisi karena tidak memiliki piksel yang bisa membuat gambar pecah.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri