Rupiah di tahun politik



Otot rupiah masih menjadi pembicaraan hot semenjak memasuki level 14.000-an per dollar AS.  Banyak yang waswas, cemas dan gelagapan melihat tren pelemahan rupiah.

Otoritas moneter dan petinggi republik ini juga tak kalah sibuk menenangkan situasi. Alih-alih tenang, kini ada yang mengaitkannya dengan gejala krisis moneter selayaknya 1997-1998.  Pendek kata, Indonesia seolah-olah di ambang runtuh dengan level baru rupiah itu.

Gejala penurunan rupiah sejatinya sudah mulai terasa sejak awal tahun ini. Januari 2018, rupiah masih di level 13.200-an per dollar AS. Bulan berikut masuk 13.300, dan seterusnya sampai 14.000-an akhir-akhir ini.


Menurut kalangan cerdik pandai, ada beragam faktor penekan rupiah. Mulai dari kuatnya dollar AS sebagai gejala umum mata uang dunia, tekanan dari derasnya arus keluar dana asing dari pasar keuangan Indonesia, serta tingginya kebutuhan dollar AS untuk membayar utang  luar negeri pemerintah dan swasta.

Di luar beragam faktor tersebut, efek tahun politik 2018-2019 juga berandil besar menekan rupiah. Argumentasi ini menemukan justifikasi bila kita menarik laju rupiah dalam horizon yang lebih panjang, serta membandingkan tren rupiah di setiap periode tahun politik.  

Dari sini, kita akan  melihat, sejak Indonesia menganut pemilu langsung, rupiah memang rentan bergoyang. Nyaris sepanjang periode tahun politik, rupiah cenderung melemah.

Lihat saja. Setahun sebelum pemilu 2004, rupiah turun 14%, dari Rp 8.200 per dollar AS pada Juni 2003, menjadi Rp 9.500 per dolar AS usai pemilu Presiden Juni 2004.

Rentang pergerakan rupiah sepanjang periode ini mencapai 19%, yakni dari posisi terendah sampai posisi tertinggi. Selepas pemilu 2004, rupiah kuat lagi dan bergerak santai. Tren serupa terjadi menjelang pemilu 2009. Rupiah oleng dan turun 22,2% ke kisaran 12.000 per dollar AS. Rentang gerak posisi terendah ke level tertinggi sekitar 32%. Pemilu usai, rupiah tenang dan menguat.

Pemilu 2014, rupiah kembali tertekan. Periode 2013-2014, rupiah ajrut-ajrutan, laju dari titik terendah ke level tertingginya mencapai 32%. Dan otot rupiah cenderung menguat dan stabil selepas pemilu.

Nah, melihat tren tersebut, stabilitas politik menjadi faktor penting bagi stabilitas mata uang, selain modal ekonomi tentunya. Lain cerita jika memang disengaja. Jangan-jangan, pelemahan rupiah setiap menjelang pemilu merupakan ajang mencari modal serta amunisi untuk bahan bualan kampanye.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi