KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah diproyeksi dapat melanjutkan penguatan pada perdagangan hari ini (14/7). Kemarin (13/7), rupiah spot ditutup menguat tajam 0,73% ke Rp 14.966 per dolar Amerika Serikat (AS). Data inflasi AS yang menunjukkan penurunan jadi katalis positif bagi rupiah. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, rupiah menguat setelah inflasi AS terpantau melambat signifikan di bulan Juni. Inflasi tahunan AS melambat menjadi 3,0%YoY di bulan Juni dari 4,0% YoY di bulan Mei 2023, serta lebih rendah dari yang diperkirakan 3,1% YoY. Inflasi AS yang lebih lambat tersebut didorong oleh inflasi inti AS, yang juga mengalami penurunan menjadi 4,8% YoY di bulan Juni dari sebelumnya 5,3% YoY di bulan Mei 2023.
Komponen utama yang mendukung penurunan inflasi adalah penurunan inflasi perumahan. Inflasi perumahan AS membukukan 7,80% yoy, terendah selama 2023 yang menyiratkan moderasi harga perumahan AS. “Inflasi AS yang lebih lemah mendorong ekspektasi yang lebih tinggi bahwa kebijakan pengetatan The Fed hampir mencapai puncaknya di tahun 2023, sehingga mendorong pelemahan dolar AS di sepanjang sesi Asia,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Kamis (13/7).
Baca Juga: Mata Uang di Asia Perkasa, Rupiah Ditutup Menguat ke Rp 14.966 Per Dolar AS Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi turut mengamati penguatan rupiah karena pelemahan dolar AS, menyusul data inflasi AS lebih rendah dari perkiraan. Dengan demikian, hasil tersebut mendorong taruhan pada Federal Reserve bakal kurang agresif. Namun, inflasi masih tetap di atas target tahunan Fed sebesar 2% meskipun pembacaan Indeks Harga Konsumen (IHK) lebih lemah. Hal ini kemungkinan akan menarik lebih banyak kenaikan suku bunga oleh bank sentral dalam waktu dekat, di mana pasar secara luas memperkirakan kenaikan setidaknya 25 bps dalam pertemuan akhir Juli. Sementara itu, pelemahan ekonomi China pasca pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berdampak pada prospek ekonomi Indonesia. Ekonomi China hingga saat ini masih lesu yang tercermin dari depresiasi mata uang China (CNY) di sepanjang tahun ini. Selain itu, Indeks Purchasing Manager (PMI) manufaktur China pada Juni 2023 menjadi 50,5, atau melemah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,9. “Perlambatan ekonomi China memang berpotensi berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia. Keterkaitan ekonomi antara Indonesia dengan China cukup kuat sebagai mitra dagang utama,” jelas Ibrahim dalam riset harian, Kamis (13/7). Ibrahim berujar, perlambatan ekonomi China juga akan menekan harga komoditas global. Hal ini pada gilirannya akan mempengaruhi ekonomi Indonesia yang masih cukup banyak mengandalkan komoditas, terutama batu bara dan CPO.
Baca Juga: Inflasi AS Melambat, Intip Rekomendasi Saham Pilihan dari Investindo Nusantara Kendati demikian, dampak pelemahan ekonomi China terhadap Indonesia seharusnya tidak begitu signifikan karena porsi neraca dagang dalam ekonomi tidak terlalu signifikan.
Saat ini, Indonesia hanya bisa mengandalkan pada konsumsi domestik, belanja pemerintah dan Foreign Direct Investment (FDI) dikala kondisi global bermasalah, termasuk ekonomi china yang melambat. Ibrahim memperkirakan mata uang rupiah akan bergerak fluktuatif, namun ditutup menguat pada rentang Rp 14.910 per dolar AS - Rp 15.010 per dolar AS. Senada, Josua melihat rupiah berpotensi menguat pada kisaran Rp 14.925 per dolar AS -Rp 15.025 per dolar AS. Rupiah akan didorong oleh potensi penurunan inflasi produsen AS yang bakal dirilis Kamis (13/7) malam. Adapun kurs rupiah di pasar spot tampil perkasa dengan penguatan 0,73% setelah ditutup ke Rp 14.966 per dolar AS di akhir perdagangan Kamis (17/). Sementara, rupiah jisdor Bank Indonesia menguat sekitar 0.70% ke level Rp14.978,00 per dolar AS. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari