KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan tajam rupiah hingga dalam penutupan perdagangan Rabu (7/11) memberikan angin segar terhadap perekomomian Indonesia minggu ini. Berdasarkan Bloomberg, di pasar spot mata uang Garuda menguat sebesar 1,45% ke level Rp 14.590 per dollar Amerika Serikat (AS). Dalam sepekan, rupiah menguat 4,03%. Lonjakan ini juga terjadi dalam data kurs tengah versi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) sebesar 0,85% menjadi Rp 14.764 per dollar AS. Bukan hanya itu, rupiah juga menguat terhadap mata uang lainnya. Dari data RTI pukul 20.15 WIB, rupiah menguat terhadap dollar Australia 0,74%, terhadap yuan 1,45%, terhadap euro 0,85%, terhadap poundsterling 1,11%, terhadap yen 1,20%, terhadap won 1,36%, terhadap ringgit 1,32%, dan dollar Singapura 1,16%. Direktur Garuda Berjangka mengatakan, Indonesia dihujani data perekonomian yang positif sehingga membantu mendongkrak pergerakan rupiah di pertengahan November ini. Dimulai pada September 2018, neraca perdagangan yang tercatat surplus US$ 230 juta oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dipicu oleh sektor non migas yang menyumbang US$ 1,3 miliar dollar AS.
Lalu kembali ditopang rendahnya inflasi bulan Oktober 2018 yang hanya 0,28%
month to month (mtm), secara tahun berjalan
year to date (ytd) senilai 2,22% dan secara tahunan atau
year on year (yoy) mencapai 3,16%. Tidak hanya itu, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 sebesar 5,17%. Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018 sebesar 5,27%. Serta yang terbaru, cadangan devisa per akhir Oktober 2018 sebesar US$ 115,2 miliar, bertambah US$ 400 juta dibandingkan September 2018 yang tercatat US$ 114,8 miliar. Menurut Analis Asia Trade Points Futures Andri Hardianto, cadangan devisa yang bertambah mencerminkan Bank Indonesia (BI) sudah mulai mengurangi intervensi mekanisme di pasar valas sudah dikelola baik. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, masalah perang dagang antara AS dengan China yang sudah mereda turut memberikan kestabilan pada perekonomian global, termasuk ke
emerging market. Rencananya, Presiden AS Donald Trump dan Presiden Tiongkok Xin Jinping akan melakukan dialog kembali untuk membahas perang dagang yang diharapkan akan menemukan jalan keluarnya. Pertemuan tersebut akan dilakukan dalam KTT G-20 pada 31 November-1 Desember 2018 mendatang. Di sisi lain, kekhawatiran kekalahan partai pendukung Presiden AS Donald Trump, Partai Republik, pada pemilu sela kali ini turut membuat para investor melepaskan dollar AS dan mengakibatkan turunnya indeks dollar. “Kebijakan-kebijakan Trump ke depan akan mengalami gejolak-gejolak. Pilpres ke depan harapan Trump kalah juga besar,” lanjut Ibrahim. Bila kalah, kesempatan ini akan dimanfaatkan pelaku pasar yang selama ini tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Trump yang dinilai kontroversial seperti
trade war. Menurutnya, penguatan rupiah akan terus berlanjut hingga pengumuman resmi hasil pemilu sela AS. Joshua dan Andri sama-sama menilai bahwa penguatan rupiah masih akan terus berjalan karena ditopang oleh fundamental yang masih kuat berkat data perekonomian yang positif. Andri juga mengatakan bahwa akibat kekhawatiran pasar terhadap agenda politik AS, terjadi banyak aksi lepas dollar AS yang dilakukan pasar. “Euro, poundsterling, dollar Australia, yen mengalami penguatan tinggi. Investor meninggalkan dollar AS dan mengganti
safe haven currency-nya,” ujar Andri. Instrumen Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) yang sudah berjalan dinilai meningkatkan kepercayaan pasar terhadap pasar keuangan domestik. Menurut Joshua, penerapan DNDF dinilai cukup signifikan karena memberikan alternatif
hedging product untuk investor asing. Selain itu terdapat
demand yang sangat tinggi pada lelang SUN yang terjadi pada pekan ini masuk cukup besar sebesar hampir Rp 60 triliun. “Ini mendorong penurunan
yield SUN 10 tahun. Impuls dari investor asing cenderung cukup tinggi minatnya dan masuk lagi ke
bond market,” kata Andri. Lalu permasalahan Brexit yang mulai kondusif turut mendorong rupiah. Setelah keluar dari Uni Eropa, Ingggris masih memiliki hubungan baik dalam perekonomian maupun militer. Perekonomian global mulai berjalan stabil bukan hanya karena
trade war yang sudah mereda, melainkan juga harga minyak yang sudah menurun. Dengan kondisi harga minyak turun, nilai impor minyak turun.
Bila cadev lebih positif maka artinya defisit bisa menyempit. "Walaupun nantinya defisitnya melebar, potensi rupiah menguat masih bisa berlanjut karena fundamentalnya apalagi ditambah kondisi dollar AS yang belum stabil,” jelas Andri. Namun ia tidak memungkiri bila rupiah cukup terbuka dengan koreksi teknikal karena sudah menguat sepanjang minggu. Ini justru perlu diwaspadai. Joshua menilai, ada potensi defisit namun bisa ditahan oleh data positif domestik. “Ekspektasi melebarnya sekitar 3,3%-3,5%.Tapi semua indikator baik dan mendukung sehingga hal itu menahan tidak akan melemah sampai Rp 15.000. BI sudah
concern terhadap ini,” tutup Joshua. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati