KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang PS Brodjonegoro menilai, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap hampir seluruh mata uang di dunia, termasuk nilai tukar rupiah, perlu diwaspadai. Menurut Bambang, penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, bukan hanya melalui operasi moneter atau intervensi pasar dengan cadangan devisa. Lebih dari itu juga harus dilakukan secara fundamental. Saat ini salah satu tantangan jangka pendek yang dihadapi Indonesia adalah penurunan rupiah terhadap dolar AS. Penguatan rupiah, kata dia, harus dilakukan melalui kebijakan yang lebih fundamenal. Untuk merealisasikan kebijakan itu, salah satu yang bisa dikedepankan adalah penguatan ekspor jasa sebagai sumber devisa. Di antaranya adalah sektor pariwisata dan turisme.
Pariwisata atau turisme termasuk kategori ekspor jasa yang bisa menghasilkan devisa dan memperkuat rupiah secara permanen. “Jadi jangan hanya berhenti pada ekspor barang, ekspor jasa juga tidak kalah penting karena ekspor jasa mempunyai
multiplayer effect yang luar biasa," ujar Bambang. Bambang menambahkan, di sisi
current account, penguatan rupiah secara lebih fundamental juga bisa dilakukan dari sisi
capital account. Ada yang sifatnya
hot money, portofolio, dan
Foreign Direct Investment (FDI). Dalam jangka pendek yang harus diperhatikan adalah portofolio, karena langsung berdampak terhadap Surat Utang Negara (SUN), pasar modal dan ujungnya terhadap rupiah. Selain itu, dari komponen pertumbuhan seperti konsumsi. Sejauh ini konsumsi masih merupakan pendorong perekonomian yang dominan sebesar 54,3% terhadap PDB 2017. Karena porsinya yang signifkan pada PDB, maka perlambatan pada konsumsi memiliki dampak terhadap laju pertumbuhan ekonomi. Dia bilang, pertumbuhan konsumsi saat ini masih di bawah 5%. Dalam standar global, capaian pertumbuhan konsumsi di bawah 5% sebenarnya masih bagus. "Jadi kalau ada yang bilang ada pelemahan daya beli, ya tidak cocok, karena konsumsinya tumbuh meski tumbuhnya tidak di atas 5%," imbuh Bambang. Selain itu, yang juga perlu ditingkatkan adalah kontribusi konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi yang sampai tahun 2013 hanya mencapai 3% atau lebih. Padahal tahun 2011, saat perekonomian tumbuh tinggi 6,5% kontribusi konsumsinya di atas 3,5%. Tapi setelah tahun 2013, kontribusi pertumbuhan dari konsumsi berada di bawah 3%. Menurutnya, ada korelasi antara pertumbuhan konsumsi dengan komoditas. Saat terjadi
booming komoditas pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi nasional bisa mencapai 6%-6,5%. Saat itu, konsumsi pernah tumbuh luar biasa di atas 5,2%-5,3%. Tapi faktor itu lenyap seiring dengan berakhirnya
commodity boom tadi. Kontribusi konsumsi yang besar, lanjut dia, dapat mempengaruhi kemampuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi.
Saat ini, tambah Bambang, memang ada perbaikan harga komoditas, CPO, dan batu bara. Namun, bukan seperti
booming komoditas. Oleh karena itu, kontribusi atau peran strategis konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi yang besar dapat diganti oleh investasi atau ekspor. Cuma masalahnya, ekspor nasional masih sangat bergantung kepada sumber daya alam seperti batu bara dan CPO. "Meskipun investasi pada tahun lalu sudah menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, masih perlu lebih dioptimalkan lagi untuk bisa membuat ekonomi kita tumbuh lebih tinggi," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia