KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah menetapkan asumsi rupiah dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2019 di level Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Padahal, saat ini nilai tukar rupiah sudah berada dikisaran Rp 14.100. Kendati demikian pemerintah belum memiliki rencana untuk menyusun Rencana APBN-Perubahan. "Masih fokus untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya," jelas Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/2). Askolani menjelaskan saat ini pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tetap memantau pergerakan rupiah. Sejauh ini BI mengatakan bahwa nilai tukar rupiah masih undervalue. Artinya masih ada potensi penguatan. Berdasarkan sensitivitas APBN 2019, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh pada sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan anggaran. Setiap pelemahan Rp 100 per dollar AS, maka pendapatan negara akan mengalami kenaikan Rp 3,9 triliun - Rp 5,9 triliun. Berasal dari penerimaan perpajakan sekitar Rp 1,9 triliun - 3,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 2 triliun - Rp 2,7 triliun. Sedangkan belanja negara akan mengalami kenaikan Rp 2,8 triliun hingga Rp 3,9 triliun. Berasal dari belanja pemerintah pusat Rp 1,6 triliun - Rp 2,3 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 1,2 triliun - Rp 1,6 triliun. Secara keseluruhan, tiap kurs rupiah bertambah Rp 100 di atas asumsi makro, akan menimbulkan surplus anggaran Rp 1,1 triliun-Rp 2 triliun. Secara spesifik, asumsi nilai tukar tersebut akan memengaruhi pos-pos penerimaan dalam APBN yang nilainya mengacu pada dollar AS. Antara lain Pajak Penghasilan (PPh) migas, penerimaan pajak perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) impor, bea masuk, dan bea keluar. Serta PNBP dari kegiatan eksplorasi migas. Di sisi belanja, perubahan nilai tukar akan berdampak pada belanja subsidi energi, belanja yang bersumber dari pinjaman luar negeri, serta pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri. Juga dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara di sisi pembiayaan, pergerakan nilai tukar akan berdampak pada pinjaman luar negeri. Baik pinjaman tunai maupun pinjaman kegiatan, penerusan pinjaman alias subsdiary loan agreement (SLA), serta pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Rupiah jauh dari asumsi, Pemerintah belum siapkan APBNP 2019
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah menetapkan asumsi rupiah dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2019 di level Rp 15.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Padahal, saat ini nilai tukar rupiah sudah berada dikisaran Rp 14.100. Kendati demikian pemerintah belum memiliki rencana untuk menyusun Rencana APBN-Perubahan. "Masih fokus untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya," jelas Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Askolani saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (24/2). Askolani menjelaskan saat ini pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tetap memantau pergerakan rupiah. Sejauh ini BI mengatakan bahwa nilai tukar rupiah masih undervalue. Artinya masih ada potensi penguatan. Berdasarkan sensitivitas APBN 2019, perubahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berpengaruh pada sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan anggaran. Setiap pelemahan Rp 100 per dollar AS, maka pendapatan negara akan mengalami kenaikan Rp 3,9 triliun - Rp 5,9 triliun. Berasal dari penerimaan perpajakan sekitar Rp 1,9 triliun - 3,2 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp 2 triliun - Rp 2,7 triliun. Sedangkan belanja negara akan mengalami kenaikan Rp 2,8 triliun hingga Rp 3,9 triliun. Berasal dari belanja pemerintah pusat Rp 1,6 triliun - Rp 2,3 triliun dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa Rp 1,2 triliun - Rp 1,6 triliun. Secara keseluruhan, tiap kurs rupiah bertambah Rp 100 di atas asumsi makro, akan menimbulkan surplus anggaran Rp 1,1 triliun-Rp 2 triliun. Secara spesifik, asumsi nilai tukar tersebut akan memengaruhi pos-pos penerimaan dalam APBN yang nilainya mengacu pada dollar AS. Antara lain Pajak Penghasilan (PPh) migas, penerimaan pajak perdagangan internasional seperti PPh pasal 22 impor, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak pertambahan nilai barang mewah (PPnBM) impor, bea masuk, dan bea keluar. Serta PNBP dari kegiatan eksplorasi migas. Di sisi belanja, perubahan nilai tukar akan berdampak pada belanja subsidi energi, belanja yang bersumber dari pinjaman luar negeri, serta pembayaran bunga dan pokok utang luar negeri. Juga dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan PNBP SDA migas. Sementara di sisi pembiayaan, pergerakan nilai tukar akan berdampak pada pinjaman luar negeri. Baik pinjaman tunai maupun pinjaman kegiatan, penerusan pinjaman alias subsdiary loan agreement (SLA), serta pembayaran cicilan pokok utang luar negeri. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News