JAKARTA. Nilai tukar rupiah kembali mengalami tekanan hebat terhadap dollar Amerika Serikat. Kemarin
greenback menguat terhadap mata uang utama dunia. Situs berita
bloomberg.com mencatat mata uang garuda menembus Rp 10.015 per dollar Amerika Serikat (AS) di perdagangan Kamis (4/7), siang. Ini berarti melemah 0,23% dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. Ekonom memprediksi melemahnya nilai tukar rupiah akan terus berlanjut. Menurut ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih, penyebab rupiah melemah ada dari luar maupun dalam negeri.
Dari sisi eksternal, sinyal bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve untuk mengurangi stimulus
quantitative easing (QE) menyebabkan pasokan dollar di pasar uang berkurang. Sedangkan sisi internal defisit neraca perdagangan yang terus membengkak akibat impor bahan bakar minyak (BBM) yang tak kunjung berakhir. "Kenyataannya setelah harga BBM subsidi naik, impor BBM justru bertambah," papar Lana, Kamis (4/7). Sekadar tahu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, total defisit perdagangan pada lima bulan pertama tahun ini US$ 2,53 miliar. Menurut BPS, neraca minyak dan gas (migas) mengalami defisit US$ 5,11 miliar, melonjak drastis dari periode sama tahun 2012 hanya US$ 813,6 juta. Tak cuma neraca defisit yang membakar rupiah. Dampak kenaikan harga BBM juga menyulut inflasi tinggi. Per Juni 2013 lalu, inflasi bulanan sudah tembus 1,03%. Bank Indonesia (BI) memprediksi inflasi di bulan Juli akan melonjak di level 2,3% akibat BBM. Berikutnya BI memprediksi inflasi Agustus sekitar 0,9%. "Ini membuat asing merasa tidak nyaman untuk menaruh dananya di Indonesia," tandas ekonom BII Juniman. Tahan BI rate Ekonom melihat masih ada cara untuk meredam tekanan terhadap rupiah, yakni Bank Indonesia mengerek bunga acuan BI
rate. Juniman berpendapat, BI sebaiknya menaikkan suku bunga acuan atau BI
rate 25 basis poin (bps). Catatan saja, bulan lalu, BI mengerek BI
rate 25 bps menjadi 6%. "Kenaikan BI
rate yang dulu belum mampu menarik minat investor," kata Juniman. Kepala Ekonom BNI Ryan Kiryanto juga sependapat bahwa kenaikan BI
rate 25 bps bulan ini bisa menjadi obat kuat bagi rupiah. Namun, Lana berpendapat, lebih baik BI
rate baru naik di bulan Agustus. Alasannya, bulan Juli 2013 ini masyarakat masih membutuhkan banyak uang untuk memenuhi kebutuhan menjelang puasa dan tahun ajaran baru. Catatan saja, kenaikan BI
rate menyebabkan jumlah uang beredar di masyarakat berkurang. Kondisi ini tentu tidak pas menjelang Lebaran.
Pengamat ekonomi dari EC-Think, Telisa Feliyanti, sependapat, sebaiknya BI menahan suku bunga Juli ini. Ia menilai BI masih punya cara lain untuk menjaga rupiah, misalnya, melakukan intervensi. Doddy Arifianto, ekonom Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menilai, kenaikan BI
rate di bulan Juli belum perlu. Alasannya, rupiah tidak melemah sendirian, tapi berbarengan dengan mata uang negara tetangga (
lihat grafik). Bahkan, jika dibandingkan dengan negara tetangga, rupiah tidak terlalu loyo. Sebulan terakhir, rupiah hanya turun 0,69%, lebih kecil ketimbang baht Thailand 2,13%, dollar Singapura 1,68%, dong Vietnam 1,04%, ataupun ringgit Malaysia 2,92%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dikky Setiawan