Rupiah kembali kepayahan



JAKARTA. Meningkatnya keyakinan pasar akan peluang kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) alias Federal Reserve (The Fed) di bulan Juni mengkanvaskan rupiah.

Fundamental yang belum sepenuhnya kokoh menyebabkan mata uang Garuda goyah. Di pasar spot, Jumat (20/5), rupiah tergelincir 0,32% menjadi Rp 13.608 per dollar AS. Dalam sepekan, nilai tukar rupiah telah anjlok 2,12%.

Sejalan, berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah terpuruk 0,75% ke Rp 13.573. Sementara sepekan terakhir, nilainya menukik 1,96%.


Posisi rupiah memang sudah menukik terlalu jauh. Bila melihat dari posisi terbaiknya di tahun ini yakni pada Maret 2016, rupiah terjun bebas 4,25% di pasar spot dan 4,24% di kurs tengah BI.

Analis Pasar Uang Bank Mandiri Rully Arya Wisnubroto mengatakan, spekulasi pasar memandang peluang kenaikan suku bunga The Fed membawa dollar AS terbang. Di sisi lain, fundamental dalam negeri sendiri masih mixed. "Ada data positif, tapi ada juga yang menyusut seperti pertumbuhan ekonomi," jelasnya.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih menambahkan, ambruknya kurs rupiah mengikuti mata uang regional. Di saat yang sama, ada kecenderungan kenaikan permintaan dollar AS dari dalam negeri. "Karena untuk membayar utang, repatriasi. Apalagi menjelang bulan puasa dan Lebaran impor naik," ujarnya.

Ketidakpastian global di tengah tahun bakal semakin memojokkan rupiah. Selain isu suku bunga The Fed, pasar masih harap-harap cemas dengan Brexit atau keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Rully memperkirakan, hingga akhir semester-I 2016, kurs rupiah akan berada di Rp 13.500-Rp 13.600 per dollar AS.

Serupa, Ekonom Bank Permata Josua Pardede pun memproyeksikan, rupiah bisa di Rp 13.500-Rp 13.700 per dollar AS pada separuh pertama tahun ini. Jika pelemahan di Juni kian tajam, bank sentral seharusnya mengambil peranan dengan melakukan intervensi.

Lana berharap, otoritas bank sentral menahan pelemahan kurs Garuda di ambang Rp 13.800.

Pasokan dollar minim

Sementara itu, Presiden Direktur Majoris Asset Management Zulfa Hendri menjelaskan, rupiah bakal semakin terpukul di semester II-2016. Alasannya, impor dan belanja modal pemerintah diperkirakan membengkak karena tengah fokus pada pembangunan infrastruktur.

Hal tersebut membuat kebutuhan akan dollar AS dalam negeri membludak. Padahal pasokan tergolong minim. "Kalau ini terjadi, di akhir tahun rupiah bisa tembus Rp 14.000 per dollar AS," tegasnya.

Namun para ekonom cenderung lebih optimistis. Rully menebak, skenario terburuk bagi rupiah di akhir tahun ada di rentang Rp 13.700-Rp 13.800. Inipun terjadi jika suku bunga The Fed naik dua kali dan perlambatan China masih berlanjut.

Nah, untuk memenuhi pasokan dollar di separuh kedua 2016, diharapkan dapat berjalan dari program tax amnesty. Lana menambahkan, peluang penguatan rupiah di separuh kedua 2016 juga bisa datang jika akhirnya Standard and Poor's (S&P) menaikkan peringkat investasi Indonesia.

Kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan masih sangat berpengaruh pada pergerakan kurs rupiah ke depan. Josua melihat, kemungkinan rupiah bisa menutup tahun ini di posisi Rp 13.500 per dollar AS, walaupun The Fed menaikan suku bunga dua kali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie