Rupiah keok ke level terendah, dibayangi penguatan data ekonomi AS



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penguatan dollar Amerika Serikat (AS) terhadap seluruh mata uang dunia pada Senin (8/10) membuat rupiah kembali di posisi terlemah sejak Juli 1998.

Mengutip Bloomberg, mata uang Garuda di pasar spot berada di level Rp 15.218 per dollar AS atau terkoreksi 0,23% dibandingkan hari sebelumnya. Begitu juga dengan data kurs tengah versi Bank Indonesia (BI), rupiah melemah 0,07% menjadi Rp 15.193 per dollar AS. 

Berdasarkan data Bloomberg pada 20:44 WIB, indeks dollar berada di level 95,96, naik dari sebelumnya 95,62. Penguatan ini salah satunya disebabkan oleh kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah AS (US Treasury) dengan tenor 10 tahun yang meningkat siginifikan 3,23% atau sekitar 17 basis poin dalam sepekan. 


Kenaikan yield US treasury sendiri didorong oleh komentar hawkish Gubernur The Fed, Jerome Powell yang mengatakan bahwa prospek ekonomi AS sangat positif dan suku bunga kebijakan The Fed akan naik di atas level 3% dalam jangka panjang. 

VP Economist Permata Bank Josua Pardede mengatakan, meskipun data ekonomi AS yang dirilis Jumat lalu cukup bervariasi, yakni Non Farm-Payroll (NFP) bulan September yang menurun dari bulan sebelumnya, namun tingkat pengangguran pada September tahun ini menjadi salah satu pendorong indeks dollar. Data mengenai tingkat pengangguran di AS menunjukkan penurunan ke level 3,7% atau level terendah sejak awal tahun 1970.

Tren positif data tenaga kerja AS juga mengonfirmasi pernyataan Powell sebelumnya bahwa kondisi perekonomian AS yang cenderung membaik dan berpotensi mendorong kenaikan inflasi. 

“Maka tidak heran ini mendukung kenaikan suku bunga AS lebih agresif dalam jangka pendek ini,” lanjut Josua. Di sisi lain, sebagian besar mata uang negara Asia juga tertekan pasca keputusan bank sentral Tiongkok yang memangkas Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 1%. 

Pelonggaran kebijakan moneter People’s Bank of China (PBoC) tersebut ditujukan untuk membatasi perlambatan ekonomi Tiongkok yang didorong oleh kebijakan preteksionisme pemerintah AS.

Dari dalam negeri, menurut Analis Asia Trade Point Futures, Andri Hardianto melemahnya rupiah diakibatkan kekhwatiran pelaku pasar akan kenaikan harga minyak yang akan memperlebar transaksi defisit berjalan. 

“Kebutuhan bbm kita cukup tinggi. Jadi pelaku pasar melihat bila pemerintah tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), maka impor BBM semakin membebani defisit neraca transaksi berjalannya,” jelasnya. Pemerintah dan BI dirasa perlu memperkuat koordinasi untuk menekan isu pelebaran defisit transaksi berjalan agar mendorong daya tarik pasar keuangan domestik.

Menurut Andri, rupiah masih memiliki pengharapan untuk menguat walau hanya secara teknis. “Kalau sudah menyentuh angka psikologisnya bisa terjadi rebound. Ada potensi tapi tidak akan lama karena sentimen umumnya masih didominasi negatif,” ujarnya.

Andri memproyeksikan rupiah berada di rentang Rp 15.150-Rp 15.220 per dollar AS. Sedangkan Josua memprediksi rupiah tetap tertekan di level 15.150-15.350.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti