JAKARTA. Rupiah makin terkapar. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) maupun kurs tengah Bank Indonesia (BI) mencatat, nilai tukar rupiah di level Rp 12.599 per dollar Amerika Serikat (AS), terendah sejak 30 Juni tahun 2008. Para ekonom memperkirakan pelemahan rupiah masih akan berlanjut dan berpotensi menembus Rp 13.000 per dollar AS. Jika itu terjadi, "Efeknya pasti akan mengganggu ekonomi nasional," kata David Sumual, Ekonom BCA, kepada KONTAN, Senin (15/12). Naik turun rupiah selalu membawa dilema. Rupiah yang lemah bisa mendatangkan manfaat bagi eksportir. Barang buatan Indonesia lebih kompetitif di pasar dunia.
Namun di sisi lain, segepok mudarat turut menyertainya. Pertama, mayoritas kebutuhan warga Indonesia dipenuhi barang impor. Saat dollar kuat, devisa yang keluar kian deras. Alhasil, defisit neraca perdagangan yang sepanjang Januari-Oktober 2014 sudah mencapai US$ 1,64 miliar akan kian lebar. BI juga makin sulit mendorong defisit transaksi berjalan ke level di bawah 3%. Kedua, berkaitan dengan poin pertama, harga barang impor ikut melonjak. Akibatnya, inflasi gara-gara lonjakan dollar makin tak terkendali. Pebisnis juga kelimpungan, terutama yang menggunakan bahan baku impor. "Bahan baku naik, tapi pengusaha tak bisa lagi menaikkan harga barang karena sudah menaikkan harga saat kenaikan BBM," kata Haryadi Sukamdani, Ketua Kadin Indonesia. Ketiga, anggaran negara juga terbebani pelemahan rupiah. Catatan Kementerian Keuangan, setiap rupiah melemah Rp 100, defisit anggaran bertambah Rp 940,4 miliar- Rp 1,21 triliun. Dengan kata lain, jika sejak awal tahun sampai sekarang rupiah melemah sekitar Rp 1.000, defisit anggaran tahun ini bertambah Rp 9 triliun-Rp 12 triliun.